TINJAUAN HUKUM TERBITNYA (SHM) DENGAN CACAT YURIDIS (Studi Putusan Perdata Nomor 65/Pdt.G/2018/PN Kla)

waktu baca 5 menit
Foto : Frenky Andriawan Lubis, Mat Fajri, Candra Waiguna (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung)

Oleh :

Frenky Andriawan Lubis, Mat Fajri, Candra Waiguna (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung)

Indonesia merupakan negara yang berlandaskan hukum. Semua yang mnyangkut kesejahteraan umum sudah diatur dalam undang-undang dalam bentuk peraturan-peraturan tertulis dengan demikian sebuah kepastian hukum seseorang pada hakikatnya sudah terjamin oleh konsitusi indonesia.

Di dalam sistem hukum nasional demikian halnya dengan hukum tanah, maka harus sejalan dengan kontitusi yang berlaku di negara kita yaitu Undang Undang Dasar 1945. Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945, yang mengatakan bahwa :

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang penguasaannya ditugaskan kepada Negara Republik Indonesia, harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Disamping itu, saat ini tanah merupakan obyek investasi dan mengakibatkan nilai harga tanah akan semakin menjulang tinggi. Dalam rangka menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemilik tanah harus tersedia perangkat hukum pertanahan yang tertulis, lengkap dan jelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.

Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, memberikan rumusan mengenai pengertian pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah.

Tujuan pendaftaran tanah dalam PP No. 24 Tahun 1997 adalah memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Pasal 4 PP No. 24 Tahun 1997 selanjutnya menegaskan bahwa “untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertipikat hak atas tanah”.

Jadi dapat dikatakan bahwa upaya untuk mewujudkan kepastian terhadap hak-hak atas tanah dilaksanakan antara lain dengan penerbitan suatu dokumen yang mempunyai kekuatan hukum yang sempurna yakni sertipikat hak atas tanah.

Dalam Undang-undang Pokok Agraria tidak pernah disebutkan sertipikat tanah, namun seperti yang dijumpai dalam pasal 19 ayat (2) huruf c ada disebutkan surat tanda bukti hak. Dalam pengertian sehari-hari surat tanda bukti hak ini sering ditafsirkan sebagai sertipikat tanah. sertipikat adalah surat tanda bukti hak, oleh karena itu telah kelihatan berfungsinya, bahwa sertipikat itu berguna sebagai alat bukti. Alat bukti yang menyatakan tanah ini telah diadministrasi oleh negara.

Dengan dilakukan administrasinya lalu diberikan buktinya kepada orang yang mengadministrasikan tersebut. Hukum melindungi pemegang sertipikat tersebut dan lebih kokoh bila pemegang itu adalah namanya yang tersebut dalam sertipikat. Sehingga bila yang memegang sertipikat itu belum namanya maka perlu dilakukan balik namanya kepada yang memegangnya sehingga terhindar lagi dari gangguan pihak lain.

Ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, sertipikat hak atas tanah merupakan alat bukti yang kuat, artinya : harus dianggap yang benar sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya di pengadilan dengan alat bukti yang lain. Bahwa surat-surat tanda bukti hak itu berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat berarti, bahwa keterangan-keterangan yang tercantum di dalamnya (oleh hakim) sebagai keterangan yang benar, selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian yang lain yang membuktikan sebaliknya. Dalam hal yang demikian maka pengadilan lah yang akan memutuskan alat pembuktian yang benar. Dengan kata lain, dengan masih adanya peluang para pihak mengadakan tuntutan hukum terhadap pemegang sertipikat hak atas tanah, dapat disimpulkan bahwa kekuatan hukum sertifikat hak atas tanah tidaklah mutlak.

Berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU Administrasi Pemerintahan, yang menegaskan bahwa Keputusan Administrasi Pemerintahan yang disebut dengan Keputusan TUN atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan  tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Berdasakan Pasal 1 angka (3) UU PTUN Kedua yang menegaskan bahwa keputusan atau penetapan (beschikking ), adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang dan badan hukum perdata.

Serifikat hak atas tanah adalah suatu produk Pejabat Tata Usaha Negara  sehingga atasnya berlaku ketentuan-ketentuan Hukum Administrasi Negara. Atas perbuatan hukum tersebut seseorang selaku pejabat Tata Usaha Negara dapat saja melakukan perbuatan yang terlingkup sebagai perbuatan yang melawan hukum baik karena kesalahan (schuld) maupun akibat kelalaian menjalankan kewajiban hukumnya. timbul permasalahan hak-hak atas tanah.

Atas perbuatan yang salah atau lalai tadi menghasilkan produk hukum sertifikat yang salah, baik kesalahan atas subyek hukum dalam sertifikat maupun kesalahan atas hukum dalam sertifikat tersebut. Kesalahan mana telah ditenggarai dapat terjadi dalam berbagai proses pendaftaran tanah. sebagaimana dari hasil catatan Badan Pertanahan Negara tentang kasus sengketa tanah yang terjadi di indonesia ini, faktor utama penyebabnya adalah masalah administrasi sertifikat yang tidak jelas, distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata, dan legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata pada sertifikat saja, tanpa memperhatikan produktivitas tanahnya.

Di Dalam Pasal 107 Permen Agraria 9/1999 disebutkan bahwa  Cacat hukum administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 (1)  adalah :

  1. kesalahan prosedur
  2. kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan
  3. kesalahan subjek hak
  4. kesalahan objek hak
  5. kesalahan jenis hak
  6. kesalahan perhitungan luas
  7. terdapat tumpang tindih hak atas tanah
  8. data yuridis atau data data fisik tidak benar;atau
  9. kesalahan lainnya yang bersifat administrative

Produk hukum yang baik adalah produk hukum yang memiliki sumber hukum yang jelas yang dimaksud dengan sumber hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan hukum serta tempat diketemukannya aturan hukum. Sumber hukum ini bila dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya atau dilihat dari bentuknya.

Sumber hukum memiliki terdiri dari dua macam yaitu: sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materiil meliputi faktor-faktor yang ikut mempengaruhi materi ini dari aturan-aturan hukum, sedangkan sumber hukum formal adalah berbagai bentuk peraturan yang ada. keputusan yang mengandung kekurangan yuridis, paksaan, tipuan, dan kekeliruan yang menjadi sebab suatu keputusan itu tidak dapat diterima sebagai keputuan yang sah. Utrecht berpendapat bahwa ketetapan yang tidak sah dapat membawa akibat bagi hukum tidak pernah ada, jadi kedudukan hukum dari yang bersangkutan dibawa kembali kepada kedudukan hukum sebelum ketetapan itu dibuat, dalam bahasa hukumnya disebut tidak sah ex tunct (ongeldigheids ex tunct).

Follow me in social media:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *