Tindak Pidana Melakukan Persetubuhan Terhadap Anak dengan Kekerasan
Oleh: Yona Selvia Nada, Bella Cahya Ningrum, Intan Tri Septiana , Yaiza Putri Lenardo, Luki Oktaviani Brilian *)
NEGARA Republik Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara hukum menghendaki agar hukum senantiasa harus ditegakkan, dihormati dan ditaati oleh siapapun juga tanpa ada pengecualian. Hal ini bertujuan untuk menciptakan keamanan, ketertiban, kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pesatnya arus globalisasi dan dampak negatif dari perkembangan teknologi menimbulkan problema baru bagi pembentuk Undang-Undang tentang bagaimana caranya melindungi masyarakat secara efektif dan efisien terhadap bahaya demoralisasi sebagai akibat masuknya pandangan dan kebiasan orang-orang asing mengenai kehidupan seksual di negara masing-masing.
Perkembangan kejahatan semakin banyak bentuknya bukan hanya menyangkut kejahatan nyawa ataupun yang menyangkut harta benda saja akan tetapi timbul kejahatan-kejahatan lain termasuk timbulnya kejahatan yang menyangkut kesusilaan yaitu kejahatan yang berupa tindak pidana seksual yang tidak hanya menimpa kalangan orang dewasa saja tetapi juga mulai menimpa kepada anak- anak maupun remaja.
Kewajiban sebagai negara hukum tentunya juga adalah menjamin hak anak atas kelangsungan hidupnya, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan kekerasan dan diskriminasi sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Melakukan persetubuhan terhadap anak dengan kekerasan tergolong kekerasan seksual pada anak itu sendiri. Masalah kekerasan seksual pada anak ini bukan hanya isu domestik saja, namun permasalahan ini di dunia global sudah sering sekali terjadi. Kekerasan seksual merupakan suatu kontak seksual yang berupa pemaksaan-pemaksaan seksual yang tidak dikehendaki oleh salah satu pihak. dan kejahatan ini merajalela dan membuat kecemasan dalam masyarakat khususnya pada orang tua.
Salah satu kasus anti-mainstream kekerasan seksual terhadap anak yang pernah terjadi pada bulan februari 2020 di daerah Lampung. Pelaku kekerasan seksual tidak hanya satu orang saja, terdakwa dan teman terdakwa melakukan pencabulan tersebut bergantian. Awalnya korban diajak bertemu tapi menolak, kemudian saat korban bertemu pelaku, pelaku membawanya secara paksa ke sebuah gubuk, dan melakukan persetubuhan dengan korban dengan memarahi, dan mengancam korban, kemudian setelah pelaku usai menyetubuhi korban, datanglah teman pelaku dan melakukan hal serupa yaitu menyetubuhi korban dengan mendorong, memukul, dan mencekik korban.
Para pelaku yang melibatkan seorang wanita yang tergolong anak kecil ini, tidak segan untuk melakukan hal-hal diluar nalar manusia, bahkan korban yang tergolong anak-anak bisa sampai meninggal dunia saat disetubuhi seperti itu. Jika sudah sampai pada tahap ini, pelaku sama saja sudah menghilangkan atau merenggut Hak Asasi Manusia lain dan sebaiknya dihukum seberat-beratnya ataupun dihukum ‘mati’. Walaupun disatu sisi hukuman ‘mati’ ini masih menjadi polemik atas pelanggaran HAM seseorang juga, terlebih hukum tindak pidana di Indonesia tidak memperbolehkan hukuman mati.
Tapi pernahkah kita berpikir untuk para korban yang statusnya anak-anak tersebut? Anak-anak yang seharusnya bermasa depan cerah, menjadi kebanggaan bagi para orang tuanya ataupun bagi bangsa ini.
Menurut Undang-undang perlindungan anak No. 35 Tahun 2014 Pasal 76D “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.” Dalam pasal 81 menegaskan segala hukuman yang diterima bagi pelanggar ketentuan pasal 76D tersebut.
Putusan pengadilan Nomor 90/Pid.Sus/2020/Pn.Lw pada kasus diatas dinilai kurang menjerakan bagi para pelaku-pelaku kekerasan seksual diluar sana karena kekerasan seksual terhadap anak saat ini sudah dianggap sebagai keadaan darurat, yang berarti pemerintah dan juga lembaga pemerhati anak harus lebih tanggap akan hukuman tambahan untuk menjerakan pelaku. Hukuman yang lebih menjerakan semisal ‘kebiri’ seperti yang dipraktekan di beberapa negara. Penjatuhan hukum kebiri dapat menjadi momok yang menakutkan bagi pelaku-pelaku pemerkosa terhadap anak. Sebagai contoh pula bagi yang lain agar jangan coba-coba melakukan kejahatan tersebut.
Di era globalisasi ini dengan kekuatan media sosial dapat mempermudah akses, kasus kekerasan seksual pada anak sudah tidak sebanyak dahulu karena berbagai media melaporkan kejadian tersebut secara besar-besaran (viral) terlebih di Indonesia. Jika hal seperti ini masih sering terjadi berarti ini memperlihatkan bahwa, negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua telah gagal menjalankan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya sebagai barisan paling depan untuk memberikan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak anak di Indonesia. Kegagalan negara dalam memberikan perlindungan terhadap anak-anak terutama yang menjadi korban kejahatan seksual.
Anak-anak yang biasanya menjadi korban kekerasan seksual banyak sekali yang mengalami trauma mendalam. Stress, depresi, dan bahkan gangguan kesehatan seperti penyakit jantung adalah beberapa gejala-gejala traumatis lainnya. Tidak sedikit dari korban yang merasa jijik pada diri sendiri, dan bahkan menyalahkan diri mereka karena kekerasan yang sudah mereka alami. Perilaku menyalahkan diri sendiri ini juga diperparah dengan adanya pikiran mendukung pelaku, seperti halnya pikiran bahwa kasus kekerasan seksual ini salah korban sendiri.
Hukum positif di Indonesia saat ini memang sudah mulai mau mengatur secara khusus bentuk perlindungan untuk pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak-anak dan untuk perangkat perundang-undangannya pun sudah terbilang cukup lengkap, yaitu terdapat di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Selain itu, juga terdapat dalam Undang-Undang Kesejahtraan anak maupun di Undang-Undang peradilan anak. Akan tetapi dari masa ke masa kejahatan itu selalu tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan masyarakat.
Penegasan akan tindak pidana melakukan persetubuhan pada anak dengan kekerasan perlu adanya peraturan yang lebih tegas lagi dalam hukumannya, seperti pengesahan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) misalnya. Dengan adanya peraturan yang lebih tegas, stigma negatif pada korban dapat berkurang. Tidak hanya itu, hal tersebut juga dapat diharapkan mengurangi jumlah kekerasan seksual yang berada di Indonesia khususnya.
*) Penulis adalah Mahasiswa Hukum Universitas Bandar Lampung.
Follow me in social media: