Rupiah Melemah Tipis ke Rp15.850 per Dolar AS, PMI Manufaktur dan Inflasi Jadi Sorotan

waktu baca 2 menit

Gantanews.co – Nilai tukar rupiah kembali melemah pada awal pekan, Senin (2/12), di tengah tekanan eksternal dan domestik. Mengacu pada data Refinitiv, rupiah dibuka di level Rp15.850 per dolar AS, turun 0,06% dibandingkan penutupan Jumat lalu (29/11).

Sementara itu, indeks dolar AS (DXY) menguat 0,44% ke level 106,20, didorong oleh ekspektasi data ekonomi Amerika Serikat yang lebih baik. Pelemahan rupiah ini juga diwarnai rilis data PMI manufaktur Indonesia dan penantian data inflasi terbaru.

PMI Manufaktur Kontraksi, Optimisme Mulai Muncul

Melansir CNBC, data S&P Global menunjukkan Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia berada di angka 49,6 pada November 2024. Ini menjadi kontraksi kelima berturut-turut, setelah sebelumnya berada di level 49,3 pada Juli dan turun hingga 48,9 pada Agustus.

Kontraksi ini mencerminkan penurunan pesanan baru dan jumlah tenaga kerja, meskipun produksi manufaktur justru meningkat untuk pertama kalinya dalam lima bulan terakhir. Optimisme juga mulai terlihat, dengan ekspektasi pertumbuhan ekonomi 2025 mencapai level tertinggi dalam sembilan bulan terakhir.

Namun, situasi ini menjadi tantangan bagi Presiden Prabowo Subianto, yang baru dua bulan menjabat. Tren kontraksi sektor manufaktur menyerupai kondisi awal pandemi Covid-19 pada 2020, ketika aktivitas ekonomi terpukul akibat pembatasan sosial.

Inflasi November: Kembali Menguat?

Perhatian pasar juga tertuju pada data inflasi Indonesia untuk November 2024 yang dirilis hari ini. Berdasarkan konsensus pasar, inflasi bulanan diperkirakan naik 0,25% (month-to-month/mtm), sementara inflasi tahunan diprediksi mencapai 1,49% (year-on-year/yoy).

Jika prediksi ini benar, inflasi akan mencatat kenaikan selama dua bulan berturut-turut, setelah sebelumnya mengalami deflasi selama lima bulan beruntun. Inflasi inti diperkirakan tetap stabil di level 2,2%, mendekati posisi Oktober 2024 yang tercatat 2,21%.

Kenaikan inflasi dipicu oleh peningkatan harga bahan pokok dan BBM non-subsidi, yang menjadi tantangan tersendiri di tengah upaya mendorong pemulihan ekonomi. (red)