Peranan Bank Indonesia (BI) Terhadap Bank Gagal

waktu baca 10 menit

Peranan Bank Indonesia (BI) Terhadap Bank Gagal

Oleh: Reza Sedyadi, Vindria Shafa Clarissha, Nada Alia Husna, Rizka Nabila *)

BANK secara harfiah berasal dari bahasa italia, yakni Banco yang artinya bangku. Bangku sendiri merujuk pada meja yang yang digunakan oleh para banker untuk melakukan kegiatan operasional melayani masyarakat atau nasabah. Istilah bangku pun semakin berkembang menjadi Bank.

Bank adalah sebuah lembaga intermediasi keuangan, umumnya didirikan dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang, peminjaman uang, dan menerbitkan promes atau banknote.

Berdasarkan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, menyebutkan bahwa bank adalah sebuah badan usaha yang mengimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan nya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk bentuk lain dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup orang banyak.

Selain itu di dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan  menjelaskan definisi bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan-kegiatan konvensional maupun secara syariah dalam kegiatannya memberikan jasa keuangan dalam lalu lintas pembayaran.

Di dalam Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 31 dijelaskan bank adalah suatu lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan antara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dan pihak-pihak yang memerlukan dana, serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran.

Fungsi perbankan berdasarkan Undang–Undang Perbankan diantaranya agent of trust yang artinya pembawa kepercayaan. Bank dinilai sebagai lembaga yang mengandalkan kepercayaan sebagai kunci dan dasar utama kegiatan perbankan.

Kepercayaan tersebut meliputi segala kegiatan operasional yang menyangkut kepentingan masyarakat selaku nasabah. Secara logika, setiap masyarakat yang menitipkan dana pada bank pun telah memiliki kepercayaan terhadap lembaga keuangan tersebut.

Dapat dikatakan, kepercayaan tersebut berupa keyakinan masyarakat yang menitipkan dana pada bank yang dapat mengambil uang tersebut sewaktu-waktu tanpa adanya masalah, tanpa adanya ketakutan bank tersebut akan bangkrut, dan lain sebagainya, sehingga nasabah dapat menarik dana kapan pun dan dimana pun.

Selain itu, fungsi perbankan adalah sebagai agent development lantaran mampu memberikan kegiatan yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan investasi, distribusi, konsumsi atau jasa yang menggunakan uang sebagai medianya.

Semua kegiatan perbankan tersebut tentunya akan memengaruhi pembangunan perekonomian masyarakat. Seperti diketahui, sektor riil dan sektor moneter adalah dua sektor yang saling memengaruhi satu sama lain. Jika salah satu sektor kurang baik, maka hal ini akan memengaruhi sisi lainnya pula.

Fungsi lain, perbankan adalah agent of service yang menawarkan berbagai jasa keuangan pada masyarakat seperti jasa penyimpanan dana, jasa pemberian pinjaman, dan lain sebagainya. Bank sendiri adalah penghimpun dana masyarakat yang ditujukan pula untuk masyarakat, sehingga jasa yang ditawarkan oleh bank ini pun erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian masyarakat.

Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (BI) Nomor 2 tahun 2000 Tentang Bank Umum, sebuah bank dalam pendiriannya harus mengantongi izin Dewan Gubernur Bank Indonesia.

Pada pasal 3 Peraturan Bank Indonesia (BI) Nomor 2 tahun 2000 dijelaskan, izin tersebut terdiri dari dua tahapan, yang pertama adalah persetujuan prinsip, di dalamnya diatur persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian Bank. Lalu yang kedua adalah izin usaha atau badan usaha untuk Bank, selain izin-izin tersebut, pendirian bank harus menyetorkan dana sebesar 3 triliun rupiah.

Untuk bank umum di Indonesia hanya boleh didirikan oleh warga negara Indonesia baik pribadi maupun badan usaha. Dalam pendirian bank umum pun diizinkan untuk melakukan mitra bersama pihak asing baik perseorangan maupun badan usaha.

Bank Indonesia adalah Bank Sentral yang pada umumnya adalah sebuah instansi yang memiliki tanggung jawab atas kebijakan moneter di suatu wilayah negara.

Bank Sentral memiliki peran untuk menjaga stabilitas harga atau nilai mata uang yang berlaku di negara tersebut, yang dikenal dengan istilah inflasi. Bank sentral menjaga agar tingkat inflasi terkendali dan selalu berapa pada nilai serendah mungkin, atau pada posisi optimal bagi perekonomian, dengan mengontrol keseimbangan jumlah barang dan uang. Apabila jumlah uang yang beredar terlalu banyak, bank sentral berhak menggunakan otoritas yang dimilikinya.

Di Indonesia sendiri, fungsi bank sentral diselenggarakan oleh Bank Indonesia. Tugas Bank Indonesia (BI) adalah membuat dan melaksanakan Kebijakan Moneter, dilaksanakan untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar di masyarakat,sehingga harga barang dan jasa di masyarakat terkendali dan selain itu, mengatur dan menjaga kelancaran Sistem Pembayaran. Sistem pembayaran yang diatur adalah sistem pembayaran tunai dan nontunai.

Bank sentral bertanggung jawab untuk menciptakan aturan, kesepakatan, standar serta prosedur yang digunakan dalam peredaran uang di masyarakat,serta mengatur dan Mengawasi Perbankan. Pengawasan yang dilakukan adalah pengawasan makro prudensial yaitu kebijakan yang dibuat untuk membatasi risiko dan biaya krisis sistemik agar keseimbangan sistem keuangan tetap terjaga.

Dalam perkembangannya, Bank tidak selalu sesuai dengan fungsinya, hal ini yang dikenal istilah Bank Gagal. Bank Gagal adalah suatu keadaan di mana operasional bank tertentu dapat dihentikan oleh otoritas pengawasan perbankan oleh negara di mana bank tersebut berada, bila mengacu pada praktik bank sentral-bank sentral di Uni Eropa terdapat tiga aspek penilaian yakni kuantitatif, kualitatif dan subyektif, di mana sebuah bank disebut sebagai bank gagal dapat dikarenakan ketidak mampuannya dalam memenuhi kewajibannya kepada para deposannya atau karena tidak bisa membayar atau pemenuhan permintaan dana-dana lainnya yang masih merupakan bagian dari kewajibannya, penghentian terhadap operasional bank gagal mempunyai dua alternatif penyelesaian yakni yang pertama bank gagal tersebut dapat dilakukan dilikuidasi tanpa termasuk dalam skema penjaminan atau yang kedua, bila bank gagal tersebut merupakan bank-bank yang dipertanggungkan atau disebut pula sebagai bank tertanggung maka bank gagal yang bersangkutan yang berada dalam jaminan pembayaran kewajiban berdasarkan skema penjaminan oleh lembaga atau badan penjaminan tersebut.

Krisis perbankan akan berdampak langsung pada kepercayaan masyarakat terhadap Lembaga Perbankan, oleh sebab itu maka tingkat kesehatan suatu Bank harus terus dijaga agar tetap dipercayai oleh masyarakat. Tingkat kesehatan Bank dapat diukur dari beberapa faktor yakniPermodalan, Kualitas Aktiva Produktif, Kualitas Manajemen, Rentabilitas dan Likuiditas suatu Bank.

Dalam penilaian terhadap tingkat kesehatan Bank, Bank Indonesia diberi kewenangan untuk menentukan sistem penilaian kesehatan Bank berdasarkan Undang-Undang Nomor23 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Bank yang tidak sehat akan kehilangan kepercayaan masyarakat, kelangsungan usaha Bank tidak dapat dilanjutkan mengakibatkan Bank tersebut menjadi Bank Gagal yang dapat dicabut ijin usahanya.

Atas dasar pertimbangan tersebut, baik pemilik dan pengelolaan Bank maupun otoritas yang terlibat dalam pengaturan dan pengawasan Bank, harus bekerjasama mewujudkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan.

Suatu Bank yang tidak dapat menjaga tingkat kesehatan Bank disebut sebagai Bank Gagal, dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) mendefenisikan Bank Gagal (failing bank) adalah bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Lembaga Pengawasan Perbankan (LPP) sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.

Dalam UU LPS dikenal ada 2 jenis Bank Gagal yaitu Bank gagal tidak berdampak sistemik dan Bank Gagal berdampak sistemik, hal ini dimuat dalam BAB V UU LPS, Contoh Kasus Bank Century yang ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik yang masih menuai pro dan kontra hingga saat ini dikarenakan tidak ada satu peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang memberikan pengertian secara jelas tentang Bank gagal berdampak sistemik tersebut, tidak adanya pengertian hukum yang jelas membuat berkurangnya kepastian hukum, apalagi jika terjadi kesalahan dalam memahami pengertian hukum akan berakibat fatal bagi pencari keadilan.

Pada saat itu ada Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perpu JPSK) yang dikeluarkan untuk menghadapi krisis perekonomian yang mengacam stabilitas sistem keuangan nasional.

Dalam Pasal 1 angka 4 Perpu JPSK memberikan pengertian Berdampak Sistemik adalah suatu kondisi sulit yang ditimbulkan oleh suatu bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB), dan/atau gejolak pasar keuangan yang apabila tidak diatasi dapat menyebabkan kegagalan sejumlah bank dan/atau LKBB lain sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional.”

Kriteria kondisi sulit yang dimaksud dalam Pasal di atas tidak dijelaskan dalam penjelasan Pasal tersebut, sehingga dalam penetapan status Bank Century sebagai Bank Gagal berdampak sistemik oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dipertanyakan dasar hukumnya, pada saat itu KSSK mengaku menetapkan Bank Century sebagai Bank gagal berdampak sistemik dan menyerahkan penanganannya kepada LPS atas dasar rekomendasi Bank Indonesia yang pada saat itu mengindentifikasi likuidasi Bank Century berdampak sistemik yang akan membahayakan Perekonomian Nasional.

Kriteria Bank Gagal berdampak sistemik membutuhkan penilaian yang mendalam dari berbagai indikator, baik indikator yang dapat diukur maupaun indikator-indikator yang tidak dapat diukur. Indikator yang dapat diukur seperti tingkat kesehatan bank yang berdasarkan pada penilaian aspek CAMELS, sedangkan indikator yang tidak dapat diukur seperti psikologi masa dan kestabilan perekonomian baik secara nasional maupun global, serta kegiatan usaha yang dilakukan suatu bank dapat mengganggu kesehatan Bank-Bank lainnya apabila bank tersebut mengalami kesulitan keuangan atau gagal.

Pengaturan Hukum mengenai kriteria Bank Gagal berdampak sistemik tidak diperlukan untuk diatur secara jelas dalam Undang-Undang mengingat perkembangan ekonomi yang sangat bersifat situasional dan dapat menimbulkan indikator-indikator baru yang dapat mendorong terjadinya bank gagal berdampak sistemik, selain itu bank gagal berdampak sistemik dapat terjadi dalam waktu cepat yang membutuhkan penanganan yang cepat pula, selain itu apabila kriteria bank gagal berdampak sistemik diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan, dikhawatirkan dapat menimbulkan moral hazard.

Pengaturan hukum yang tidak mengatur secara jelas terkait bank gagal berdampak sistemik membuat Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen yang berperan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, menunjuk lembaga lain sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28 PBI: 15/2/PBI/2013 untuk menetapkan status bank gagal berdampak sistemik, lembaga yang dimaksud adalah lembaga-lembaga seperti Lembaga Penjamin Simpanan yang menjamin dana nasabah dalam usaha perbankan, Otoritas Jasa Keuangan yang berperan dalam pengaturan dan pengawasan di sektor keuangan, yang tergabung dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45 UU OJK untuk membentuk kebijakan dan cara penanganan suatu masalah yang ditenggarai akan membahayakan stabilitas sistem keuangan.

FKSSK itu sendiri beranggotakan Menteri Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, yang bekerjasama untuk tercapainya kestabilan sistem keuangan sehingga peran lembaga-lembaga tersebut menjadi penting.

BI dan LPS selama ini telah menjalin koordinasi yang erat dalam pelaksanaan fungsi dan tugas masing-masing lembaga. Dengan adanya perubahan dalam struktur sistem keuangan Indonesia yang ditandai berdirinya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta disahkannya Undang-Undang No.9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK), perlu dilakukan penyesuaian terhadap tugas, fungsi dan wewenang institusi di sistem keuangan Indonesia. Untuk itulah, dilakukan penyesuaian dalam kerja sama antara BI dan LPS.

Terdapat tujuh hal yang dicakup dalam nota kesepahaman antara BI – LPS, Pertama, penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik berupa pencabutan izin usaha. Kedua, pendanaan dalam rangka penanganan permasalahan solvabilitas Bank. Ketiga, pertukaran data dan/atau informasi. Keempat, pengembangan kompetensi pegawai. Kelima, penelitian, kajian, dan/atau survei bersama. Keenam, sosialisasi dan/atau edukasi bersama. Ketujuh, penugasan pegawai; dan/atau penanganan pelaksanaan tugas lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain mendukung pelaksanaan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT), pendalaman pasar keuangan, dan perluasan akses keuangan.

Dalam UU PPSK, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mendapatkan mandat yaitu penyerahan bank yang tidak dapat disehatkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). LPS bisa memberikan opsi-opsi apakah bank ini ditutup atau setengah ditutup setengah diselamatkan. Mempreteli atau memilih mana aset yang baik dan mana aset yang buruk. langkah tersebut akan diserahkan ke tim yang melakukan likuidasi.

Namun, jika yang bermasalah adalah bank sistemik, maka OJK tidak dapat langsung menyerahkan ke LPS. Tugas LPS terhadap bank sistemik adalah menyelamatkan aset sebanyak mungkin, Sehingga mengurangi kebutuhan atau dana yang digunakan untuk menyelamatkan bank itu.

Banyak Masyarakat yang awam terhadap Peranan, Tugas Dan Wewenang dari Bank Indonesia serta awam Terhadap Perkembangan Dan Penurunan Ekonomi Nasional membuat Bank Indonesia sering melakukan Sosialiasi serta mempermudah Masyarakat untuk mengakses Website Resmi Bank Indonesia (BI).

Bank Indonesia terus bersinergi  agar mampu Meningkatkan Perekonomian Nasional, Menjaga Perekonomian Nasional agar tidak Krisis, Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran Serta Mengatur dan mengawasi Perbankan (Tugas ini masih berlaku pasca-UU OJK namun difokuskan pada aspek makroprudensial dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan di Indonesia.

*) Penulis adalah mahasiswa dan mahasiswi Universitas Bandar Lampung (UBL)