MK Tolak Gugatan Presidential Threshold DPD dan PBB, Rocky Gerung Sebut Mahkamah Konyol
GANTANEWS.CO – Pemerhati politik Rocky Gerung mengkritik keras keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan DPD, PBB, dan Partai Gelora, terkait Presidential Threshold. Ia menyebut MK sebagai mahkamah konyol.
Kritik pedas itu disampaikan Rocky di Rocky Gerung Official yang disiarkan saluran Youtube Forum News Network (FNN), dipandu oleh Hersubeno Arief pada Jumat (08/07) siang.
Ia menyebut keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai keputusan yang konyol dan dungu dan menjadi catatan bahwa ada lembaga yang seharusnya bertugas menjamin demokrasi justru memberangus demokrasi.
“Catatan ini yang akan kita pakai nanti untuk mempersoalkan mereka yang ada di dalam,” tegasnya.
Rocky menyebut nama Saldi Isra yang sudah berkali-kali memberikan dissenting opinion.
“Dia (Saldi) langsung saja bikin dissensus untuk menegaskan posisinya bahwa ia tidak bisa lagi berkonsensus dengan mahkamah konyol ini MK, dia harus keluar,” katanya.
Menurutnya, pertanggungjawaban moral hakim yang nurani terganggu adalah keluar sebagai bentuk perlawawan.
“Sebaiknya saldi Isra it atau siapapun yang merasa tidak cocok dengan suasana berkonstitusi di Mahkamah Konstitusi dia keluar dari situ,” tegasnya lagi.
Mahkamah Konstitusi di seluruh dunia, jelas Rocky selalu ditunjukkan dengan adanya pilar-pilar yang kokoh. Tapi MK di sini justru memotong sendiri pilar-pilar demokrasi itu sehingga berarantakan-lah pengertian tentang konstitusilism dan presidensialism.
Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Keputusan itu membuat MK melakukan tiga kali penolakan dalam perkara yang sama.
Keputusan soal penolakan tersebut dibacakan pada Kamis, 7 Juli 2022.
“Menyatakan permohonan Pemohon I tidak dapat diterima, dan menolak permohonan Pemohon II untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara Nomor 52/PUU-XX/2022.
Dalam pertimbangannya, mahkamah menilai DPD yang diwakili oleh Ketua La Nyalla Mattalitti tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan uji materi pasal 222 Undang-Undang Pemilu tersebut.
Sedangkan PBB dianggap memiliki kedudukan hukum tetapi dinilai tak memiliki argumentasi yang tepat.
Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra selaku pemohon kedua berargumentasi bahwa penerapan ambang batas 25 persen suara sah dalam pemilu sebelumnya atau 20 persen kursi DPR RI bisa mengakibatkan berbagai ekses negatif seperti oligarki dan polarisasi masyarakat. Yusril meminta presidential threshold dihapuskan atau menjadi nol persen.
“Tidak terdapat jaminan bahwa dengan dihapuskannya syarat ambang batas pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik maka berbagai ekses sebagaimana didalilkan oleh Pemohon II tidak akan terjadi lagi,” kata Anggota Hakim MK Aswanto.
Mahkamah menyatakan syarat ambang batas pencalonan merupakan suatu hal konstitusional. Sedangkan berkenaan dengan besar atau kecilnya persentase presidential threshold merupakan kebijakan terbuka atau open legal policy dalam ranah pembentuk undang-undang.
“Pendirian Mahkamah tersebut berpijak pada perlunya penguatan sistem pemerintahan presidensial berdasarkan UUD 1945 sehingga dapat mewujudkan pemerintahan yang efektif.”
Dalam putusan uji materi ambang batas ini, terdapat dua hakim konstitusi menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Keduanya adalah Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra. Mereka menilai pasal yang mengatur tentang ambang batas pencalonan adalah inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Saldi Isra berpandangan bahwa penggunaan ambang batas mengamputasi salah satu fungsi partai politik, yaitu menyediakan dan menyeleksi calon pemimpin masa depan. Disadari atau tidak, kata dia, dengan rezim presidential threshold, masyarakat tidak memiliki kesempatan luas untuk mengetahui dan menilai calon-calon pemimpin bangsa yang dihasilkan partai politik peserta Pemilu.
Dengan membuka kesempatan kepada semua partai politik peserta Pemilu mengajukan pasangan calon Presiden (dan Wakil Presiden), masyarakat dapat melihat ketersediaan calon pemimpin bagi masa depan. Selain itu, Saldi juga beranggapan, masyarakat juga akan disediakan pilihan yang beragam untuk calon pemimpin tertinggi di jajaran eksekutif jika ambang batas itu dihapus.
Yang tidak kalah pentingnya, melihat situasi terakhir terutama pasca Pemilu Presiden 2014, menurut dia, menghapus ambang batas berpotensi bisa lebih banyak calon presiden dibanding Pemilu 2014.
“Dengan jumlah calon yang lebih banyak dan beragam, pembelahan dan ketegangan yang terjadi di tengah masyarakat dapat dikurangi dengan tersedianya banyak pilihan dalam Pemilu Presiden 2019,” ucapnya.
Sedangkan Suhartoyo menilai ambang batas pencalonan presiden merupakan pemaksaan sebagian logika pengisian jabatan eksekutif dalam sistem parlementer ke dalam sistem presidensial.
“Padahal salah satu gagasan sentral di balik perubahan UUD 1945 adalah untuk memurnikan (purifikasi) sistem pemerintahan Presidensial Indonesia,” kata dia.
Sebelum menolak gugatan DPD dan PBB, MK sebelumnya juga telah menolak gugatan presidential threshold lainnya.
Setidaknya terdapat empat gugatan yang telah ditolak Mahkamah Konstitusi dalam masalah presidential threshold ini. Pertama gugatan yang diajukan oleh tujuh warga Kota Bandung. Kedua gugatan yang diajukan oleh empat pemohon. Ketiga gugatan yang diajukan lima anggota DPD RI dan terakhir, pada Maret lalu, MK juga menolak gugatan yang diajukan Partai Ummat dan 27 diaspora.
Meskipun demikian, gugatan presidential threshold dipastikan belum akan berakhir. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memastikan mereka juga akan mengajukan gugatan serupa. Hanya saja, PKS meminta agar ambang batas diturunkan menjadi 7-9 persen saja.(iwaganta)
Follow me in social media: