Malam 20 Mei 1998: Malam yang Mengubah Indonesia Selamanya
Gantanews.co – 26 tahun telah berlalu sejak malam bersejarah 20 Mei 1998, momen yang mengantarkan Indonesia ke era baru. Tragedi ini menjadi catatan kelam dalam sejarah, namun sayangnya, banyak generasi muda yang luput dari pengetahuan tentang peristiwa penting ini.
Baca juga: Gen Z, Ini Dia Kisah Kelam Mei 1998 yang Harus Kamu Tahu!
Mari kita kembali mengenang malam menjelang 20 Mei 1998, di mana ketegangan melanda dan masa depan bangsa dipertaruhkan.
20 Mei 1998: Malam Menegangkan Jelang Reformasi
Amien Rais, tokoh sentral reformasi, menyerukan rakyat untuk turun ke jalan dan mendesak Soeharto mundur. Bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, Amien Rais berencana mengumpulkan massa di Lapangan Monumen Nasional (Monas) pada 20 Mei. Mahasiswa yang ingin Soeharto segera meletakkan jabatannya pun bereaksi. Mereka berencana akan melakukan long march dari Gedung DPR/MPR dan berkumpul di Monas.
Aparat keamanan, diliputi kecemasan massa akan merangsek ke Istana dan objek vital, memasang barikade dan memperketat penjagaan di sekitar Monas. Bahkan aparat keamanan sampai menghubungi Amien Rais, meminta membatalkan rencana aksi itu.
Lapangan Monas terletak persis di depan Istana Kepresidenan. Di sekitarnya juga ada obyek vital seperti Markas Besar Angkatan Darat, Departemen Pertahanan, Gedung Radio Republik Indonesia, Gedung Telkom, Gedung Bursa Efek, dan sejumlah kantor kementerian.
“Yang ditakutkan oleh petinggi militer saat itu adalah, massa akan merangsek ke mana-mana. Itu sebabnya aparat keamanan memiliki alasan kuat untuk mencegah pengumpulan massa di Monas,” kata Salim dalam bukunya yang berjudul “Dari Gestapu ke Reformasi; Serangkaian Kesaksian”.
“Saya ditelepon dari Cilangkap (Mabes TNI). Saya betul-betul lupa namanya. Pak Amien Rais, saya Mayjen ini, jadi Pak Amien, tolong 20 Mei yang akan dijadikan syukuran reformasi di Monas, itu tolong dibatalkan’,” kata Amien menirukan ucapan sosok misterius itu, dalam peringatan 20 Tahun Reformasi pada 21 Mei 2018 seperti dikutip dari laman Kompas.com
Dalam bukunya, Salim Said menceritakan, di tengah situasi genting, Salim Said, pakar militer sipil, menerima panggilan untuk menghadiri pertemuan di Gedung Urip Sumoharjo, Departemen Pertahanan pada malam 20 Mei. Panggilan itu berasal dari Kepala Staf Sosial Politik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang saat itu dijabat oleh Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Agenda utama pertemuan itu ialah membahas langkah-langkah paska pengunduran diri Soeharto yang diprediksi akan terjadi.
Salim menceritakan, ia dijemput oleh Mayor Benny, staf kantor Sospol ditugasi menjemput Salim di “perbatasan” memasuki wilayah tertutup.
“Penyeberangan ke dalam wilayah Monas yang dijaga ketat mengingatkan saya padapengalaman menyeberang dari Berlin Barat ke Berlin Timur yang saya alami pertama kali pada musim semi 1970,” tutur Salim.
Ketika memasuki ruang rapat, Salim melihat sejumlah perwira tinggi ABRI, termasuk antara lain Letjen Hari Sabarno (kemudian menjadi Menteri Dalam Negeri di era Megawati Sukarnoputri). Hadir juga tim dari Universitas Indonesia yang dipimpin rektornya. Ada juga Prof. Harun Al Rasyid dan Prof. Zen Umar Purba, guru besar di bidang ketatanegaraan.
Tampak juga Prof. Ryaas Rasyid, dan tentu saja Letjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tuan rumah. Menu makan malam saat itu adalah nasi kotak, yang isinya nasi gudeg. Mereka menunggu datangnya Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto. Ketika Wiranto sudah bergabung, rapat dimulai, dipimpin oleh SBY.
Saat itu pakar hukum tata negara Harun Al Rasyid menjelaskan, berdasarkan Pasal 8 UUD 1945, jika presiden mundur dan tidak lagi dimungkinkan menjalankan tugasnya, maka wakil presiden yang akan mengambil alih.
“Tidak ada debat mengenai ini. Semua yang hadir tampaknya sepakat. Tidak lama kemudian, Panglima Wiranto meninggalkan ruangan. Bambang Yudhoyono meneruskan rapat,” kata Salim.
Letjen Hari Sabarno yang saat itu menjabat sebagai Ketua Fraksi ABRI MPR/DPR, menyetujui Pasal 8 UUD 1945, namun meragukan kredibilitas Habibie.
Saat itu Salim Said terinspirasi oleh transisi Orde Baru, mengusulkan agar ABRI mendukung proses peralihan kekuasaan secara konstitusional.
“Pada titik itu saya mendadak teringat pengalaman hari-hari awal Orde Baru ketika timbulkeraguan mengenai apakah Jenderal Soeharto- yang sebelum Gestapu hampir tidak dikenal publik – cukup berwibawa menggantikan Sukarno? cerita Salim Said dalam buku itu.
Atas prakarsa Jenderal Nasution, para pimpinan ABRI saat itu sepakat menyatakan dukungannya kepada Suharto.
“Apakah sekarang pimpinan ABRI tidak bisa menyelamatkan negara dan konstitusi dengan cara mendukung proses peralihan kekuasaan secara tradisional?” Salim membisikkan pemikirannya itu kepada Ryaas Rasyid, yang lantas memintanya menyampaikan secara terbuka dalam rapat. Dia mengancungkan tangan, dan menyampaikan gagasan itu kepada pemimpin rapat, SBY.
Rapat selesai, masing-masing diantar pulang melewati “perbatasan”.
21 Mei 1998: Lengsernya Soeharto, Era Baru Indonesia
Keesokan harinya, Kamis, 21 Mei 1998 tepat pukul 09.05 WIB, Soeharto mengumumkan pengunduran diri setelah 32 tahun berkuasa. Pengumuman ini mengakhiri kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun. Usai pengumunan, segera dilakukan pelantikan BJ Habibie sebagai presiden ketiga Republik Indonesia. Menandai dimulainya era baru bagi bangsa Indonesia yakni era Reformasi.
Malam 20 Mei 1998 Versi Wiranto
Masih dalam buku “Dari Gestapu ke Reformasi – Serangkaian Kesaksian”, dalam bab “Yang Keluar Dari Saku Jenderal Wiranto”, diceritakan, beberapa hari setelah Soeharto lengser, Salim mendapat informasi jika Wiranto meninggalkan rapat pada malam 2o Mei 2998, saat rapat sedang berlangsung, karena dipanggil Presiden Soeharto.
Melalui ajudannya, malam itu Presiden Soharto memanggil Wiranto untuk hadir ke kediaman Presiden Soeharto di Cendana. Saat itu Wiranto ditemani oleh dua perwira tinggi, Jenderal Subagio, KSAD waktu itu; dan Mayjen Endriartono Sutarto, Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres).
Sebelum memasuki ruangan, Wiranto diberi tahu ajudan bahwa Wakil Presiden Habibie baru saja diterima Presiden Soeharto.
Ada dua hal yang disampaikan Presiden Soeharto kepada Wiranto malam itu. Pertama, Presiden Soeharto menyatakan akan mundur besok pagi. Kedua, menyerahkan dokumen yang juga dikenal sebagai Instruksi Presiden (Inpres) No. 16 Tahun 1998, yang berisi pengangkatan Wiranto menjadi Panglima Komando Kewaspadaan dan Keselamatan.
Inpres tersebut adalah sebuah Inpres yang berinduk kepada Ketetapan (TAP) MPR No. V tahun 1998 yang memberikan kewenangan kepada presiden untuk mengambil langkah-langkah khusus dalam keadaan kritis.
Wiranto, setelah mendapat perintah dari Soeharto, kembali ke Dephan dan menyimpan Instruksi Presiden No. 16/1998 (memberikannya Komando Kewaspadaan dan Keselamatan) di sakunya karena dianggap tidak relevan.
Tengah malam 20 Mei, Jenderal Wiranto mengadakan rapat staf.
“Besok kita bersama-sama akan mengantarkan pergantian presiden dari Pak Harto ke Wakil Presiden Habibie lewat sebuah proses yang konstitusional.” kata Wiranto kepada peserta rapat,
Kemudian Wiranto meminta staf menyiapkan pernyataan Panglima ABRI. Ia menitipkan beberapa point.
“Yang menyusun pernyataan itu adalah SBY. Dengan sedikit perubahan saya bacakan setelah pergantian pimpinan negara di Istana pada pagi hari esoknya. Konsep asli tulisan SBY itu masih saya simpan sampai sekarang,” tutur Wiranto.
26 tahun setelah Reformasi
Cita-cita reformasi, seperti supremasi hukum dan pemerintahan bersih, masih belum sepenuhnya tercapai. Elite politik lebih fokus pada perebutan kekuasaan daripada menyelesaikan agenda reformasi. Perjuangan untuk mewujudkan cita-cita reformasi masih harus terus dilanjutkan.
Kisah 20 Mei 1998 adalah pengingat bahwa perubahan tidak datang dengan mudah. Diperlukan keberanian, tekad, dan kesatuan untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Mari kita teruskan perjuangan untuk mewujudkan cita-cita reformasi dan membangun Indonesia yang adil, sejahtera, dan demokratis. (w)