Kelenteng Senapati Dulu Tuan Rumahnya Jenderal

waktu baca 4 menit
Baru tahu, ternyata Bandarlampung punya kelenteng tua yang berdiri pada 1898 lalu. Namanya Kelenteng Senapati berlokasi di Panjang.

GANTANEWS.CO, Bandarlampung – Baru tahu, ternyata Bandarlampung punya kelenteng tua yang berdiri pada 1898 lalu. Namanya Kelenteng Senapati berlokasi di Panjang.

Senin (04/07) lalu, Walikota Bandarlampung Eva Dwiana datang ke sana, menghadiri acara HUT Dewa Zhi Gao Thay Pak yang pada tahun ini menginjak usia yang ke-4.000 tahun lebih.

Baru tahu juga, ternyata Pemkot Bandarlampung sudah menetapkan Kelenteng Senapati menjadikan tempat ibadah umat Tri Dharma (TITD) (Vihara Ciang Cin Miao) sebagai objek wisata religius umat Buddha.

Penetapannya dituliskan di dalam Perda Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Kota Bandar Lampung Tahun 2022-2025.

“Kota kita punya Kelenteng Senapati yang punya sejarah panjang. Tentunya ini menjadi kewajiban kita semua untuk merawat dan menjaga kelestarian bangunan sejarahnya,” kata Eva Dwiana.

Ia berharap kemegahan dan kemasyuran Kelenteng Senapati bisa menjadi perekat keberagaman masyarakat Kota Bandar Lampung.

Vihara Ciang Cin Miao berdiri sejak tahun 1898 oleh Lie Se Sem, seorang pelarian dari Tiongkok Selatan. Tempat peribadatan keluarga Lie Se Sem itu berada di tepi jalan simpang tiga Tugu Kerukunan Umat Beragama.

Sebagai tempat peribadatan keluarga, vihara tersebut dikelola secara turun temurun. Saat ini vihara dikelola oleh Jonny Sartius, generasi keempat dari keluarga Lie Se Sem.

“Buyut saya dari Tiongkok Selatan langsung ke Kota Bandarlampung kurang lebih tahun 1890. Di sini jadi tukang kayu. Ini sejarahnya nih masih ada kayunya,” kata Jonny Sartius sambil menunjuk bangku kayu sepanjang 2 meter di dekat pintu masuk utama vihara.

Dia tidak menyebutkan jenis kayu bangku tersebut, namun dari penampang kayu yang halus dengan warna hitam mengkilap menandakan bahwa kayu tersebut jenis kayu keras. Tak heran jika bangku tersebut masih bertahan hingga saat ini.

“Namun, entah kenapa dia bangun kelenteng,” lanjut Jonny sembari tertawa.

Pria berkacamata itu menuturkan wujud Vihara Ciang Cin Miao saat awal didirikan buyutnya hanya berupa rumah kayu kecil beratapkan seng.

“Sekarang tidak ada lagi bangunan awalnya, yang sekarang ini dibangun tahun 1961 dan diresmikan tahun 1963. Terus renovasi atap tahun 1994, dulunya genteng sekarang asbes,” ujar dia.

Saat ini bangunan vihara bergaya Tiongkok kuno itu memiliki luas kurang lebih 1.000 m² dan berdiri di atas lahan seluas 2.500 m².

Ketika buyutnya mendirikan bangunan sederhana tempat peribadatan keluarga, kala itu, banyak warga yang memberikan bantuan. Pada masa hidupnya, Lie Se Sem dikenal sebagai seorang Thung Shen.

“Banyak yang minta tolong kepada buyut saya ini karena badannya dimasuki roh seorang jenderal. Masyarakat kemudian memberikan imbalan seikhlasnya,” kata Jonny.

Hal inilah yang mendasari buyutnya memberikan nama Vihara Ciang Cin Miao, Ciang Cin artinya jenderal dan Miao artinya tempat ibadah Tri Dharma.

Ketika memasuki bangunan vihara, di dua daun pintu utama setinggi dua meter terdapat lukisan dewa perang Tiongkok, kemudian pengunjung akan disambut sebuah patung dewa perang berwarna kuning keemasan setinggi kurang lebih 30 cm.

Di bagian atas pintu utama tersebut, terdapat lukisan seniman asal Singapura yang mengisahkan Samkok atau Kisah Tiga Negara yang melegenda.

“Jadi tuan rumah kelenteng ini jenderal, makanya nama Indonesianya Kelenteng Senopati, senopati itu kan panglima,” ujar Jonny.

Pemerintah mulai menyematkan nama Kelenteng Senopati sejak tahun 1980. Rezim orde baru yang berkuasa saat itu tidak mengizinkan penggunaan nama Tiongkok.

Bahkan peranakan Tionghoa diwajibkan memakai nama Indonesia. Pun pertunjukan barongsai yang sudah ratusan tahun dilarang. “Karena waktu itu kan gak boleh nama Cina,” kata Jonny.

Di era Reformasi, ketika Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi Presiden RI keempat, proses asimilasi yang dipaksakan rezim sebelumnya dihilangkan.

Warga peranakan Tionghoa di Indonesia juga diizinkan merayakan Tahun Baru Imlek.

Namun nama Kelenteng Senopati sudah terlanjur dikenal oleh masyarakat luas. Pada 2018, Vihara Ciang Cin Miao terdaftar sebagai tempat ibadat agama Buddha dengan nama Vihara Senapati di Kanwil Kementerian Agama Provinsi Lampung.

“Ide saya waktu itu, kenapa gak diubah lagi ke TITD Ciang Cin Miao karena kan sekarang sudah bebas,” ujar Jonny.

Sebagai salah satu tempat peribadatan umat Buddha tertua di Kota Bandarlampung, selain Vihara Thay Hin Bio di Teluk Betung, Vihara Ciang Cin Miao dengan arsitektur Tiongkok kuno memiliki daya tarik tersendiri sebagai obyek wisata.

Jonny mengatakan sebelum pandemi Covid-19, Vihara Ciang Cin Miao selalu ramai pada saat perayaan Imlek, 24 jam nonstop. Pada hari-hari biasa, vihara tersebut juga ramai dikunjungi warga luar Provinsi Lampung, seperti Palembang dan Tangerang.

Dia mengaku tidak mengetahui sama sekali jika vihara keluarganya ditetapkan sebagai obyek wisata dalam Perda Kota Bandarlampung tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Tahun 2022-2025.

“Tidak ada koordinasi dari Pemkot Bandarlampung, nggak ngerti, saya aja baru tahu ini,” kata dia tertawa.

Meski demikian, Jonny tidak merasa keberatan, dirinya berharap Pemkot Bandarlampung bisa memberikan perhatian lebih lagi dengan membantu pengurusan izin sertifikat tempat ibadah untuk Vihara Ciang Cin Miao.

“Sertifikat tempat ibadah itu belum ada, saya coba mengajukan, lagi tanya biayanya berapa, harusnya gratis ya,” tutup dia sembari tersenyum. (eli/dbs)

Follow me in social media: