Kalah di Pengadilan, TikTok Terancam Diblokir di AS
Gantanews.co – Nasib TikTok di Amerika Serikat kian rumit setelah Pengadilan Banding AS menolak permintaan perpanjangan waktu yang diajukan oleh TikTok dan induk perusahaannya, ByteDance. Dalam putusan yang keluar pada 13 Desember 2024, pengadilan menggarisbawahi bahwa perusahaan harus mematuhi aturan yang mewajibkan ByteDance untuk memisahkan diri dari TikTok paling lambat 19 Januari 2025.
Langkah ini memaksa TikTok untuk segera mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung guna membatalkan aturan tersebut. Juru bicara TikTok menyatakan, “Kami berencana membawa kasus ini ke Mahkamah Agung.” Tanpa intervensi lebih lanjut, platform berbasis video pendek yang memiliki lebih dari 170 juta pengguna bulanan di AS itu terancam ditutup.
Menurut laporan Reuters, TikTok dan ByteDance sebelumnya mengajukan mosi darurat kepada Pengadilan Banding di Distrik Columbia. Mereka meminta tambahan waktu untuk menyiapkan dokumen menuju Mahkamah Agung. Namun, permintaan tersebut ditolak. Pengadilan menilai TikTok dan ByteDance gagal menunjukkan preseden hukum yang mendukung penangguhan sementara aturan Kongres.
Departemen Kehakiman AS menegaskan bahwa hubungan TikTok dengan Cina terus menjadi ancaman bagi keamanan nasional. Disisi lain, TikTok bersikeras bahwa data penggunanya dikelola di server cloud AS milik Oracle, sehingga tidak ada akses oleh pihak asing.
Aturan yang disahkan Kongres memberikan wewenang kepada pemerintah AS untuk melarang aplikasi asing yang dianggap berisiko, termasuk TikTok. Jika Mahkamah Agung tidak membatalkan aturan ini, keputusan akhir berada di tangan Presiden Joe Biden. Presiden dari Partai Demokrat itu dapat memperpanjang tenggat waktu 19 Januari hingga 90 hari ke depan, atau menyerahkan keputusan kepada Presiden terpilih Donald Trump, yang akan mulai menjabat sehari setelah tenggat waktu berakhir.
Menariknya, Trump, yang selama masa jabatan pertamanya pada 2020 gagal melarang TikTok, menyatakan sebelum pemilu November lalu bahwa ia tidak akan mengizinkan larangan platform tersebut. Pernyataan ini menambah lapisan kompleks pada konflik antara pemerintah AS, TikTok, dan penggunanya.
Jika ByteDance gagal memisahkan diri dari TikTok, platform ini menghadapi kemungkinan besar untuk dihapus dari pasar AS. Dampaknya tidak hanya berpengaruh pada para kreator konten dan pengguna, tetapi juga pada perusahaan-perusahaan yang bergantung pada TikTok untuk strategi pemasaran mereka.
Apakah Mahkamah Agung akan menyelamatkan TikTok? Ataukah platform ini akan menjadi korban terbaru dari persaingan geopolitik antara AS dan Cina? Keputusan selanjutnya akan menjadi penentu bagi masa depan TikTok di salah satu pasar terbesarnya. (red)