Jelajah Hukum Terkait Penanganan Laporan atas Dugaan Pengrusakan Tanam Tumbuh di Atas Tanah 23 SHM Milik Masyarakat Way Kanan
Oleh: Gindha Ansori Wayka
PENEGAKAN hukum tidak selamanya memberikan kebahagian bagi para pihak saat sudah ditangani oleh penegak hukum. Ada berbagai kendala yang dihadapi dalam penanganan yang berkaitan dengan perkara yang melibatkan warga melawan pihak yang memiliki status sosial yang tinggi di strata sosial masyarakat.
Terkadang ada kesan bahwa semakin tinggi status sesorang, semakin susah menjangkaunya secara hukum, meskipun secara nyata diduga merugikan masyarakat.
Pada kesempatan ini, penulis hendak memberi semangat dan motivasi berbagai pihak (penegak hukum, pelapor dan masyarakat) dalam proses penyelesaian Laporan 22 Warga Way Kanan di Kepolisian Resor Way Kanan, Provinsi Lampung, berdasarkan Laporan Polisi LP/B – 580/VIII/2019/Polda Lampung SPKT Res Way Kanan, tertanggal 20 Agustus 2019.
Pada dasarnya, benda, baik bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang berguna dan menunjang bagi setiap subjek hukum (Pendukung Hak dan Kewajiban) yakni Manusia (Natuurlijk Persoon) dan Badan Hukum (Recht Persoon) dikenal dengan Objek Hukum. Terhadap objek ini tentunya ada beberapa sifat yang dimiliki oleh suatu objek hukum diantaranya adalah hak milik, hak sewa, hak gadai dan lain sebagainya.
Dalam kesempatan ini, penulis akan membahas tentang dugaan pengrusakan tanam tumbuh di atas tanah hak milik 22 Warga di Way Kanan yang saat ini sedang disengketakan di Kepolisian Resor Way Kanan, yang menurut beberapa pihak proses penyelidikannya sudah terlalu menelan waktu yang cukup panjang (lama) yakni lebih kurang 1, 5 tahun, belum ada kesimpulan, apakah laporan warga tersebut tidak ditemukan tindak pidananya atau harus dilanjutkan ke tingkat atau tahap berikutnya yakni tahap penyidikan dengan alasan telah ditemukan minimal 2 (dua) alat bukti yang cukup yang dapat menjerat pelaku dugaan tindak pidana pengrusakan tersebut.
Berkaitan dengan hak milik, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh penyidik diantaranya sifat hak milik itu sendiri, yakni hak mutlak yang dapat dipertahankan oleh dan dari siapapun, sehingga dalam penggungkapannya harus dilakukan secara komprehensif, karena menyangkut antara hak milik yang sifatnya privat (tanah) dan perbuatan atau perlakuan atas tanam tumbuh yang dirawat dengan pengabdian yang sifatnya Publik (pengrusakan).
Seperti diketahui, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ada beberapa Pasal yang mengatur tentang pengrusakan diantarannya yakni Pasal 406 ayat (1) KUHP yang menjelaskan bahwa “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta komentar-komentarnya lengkap Pasal demi Pasal (halaman 279) terkait Pasal 406 KUHP menjelaskan bahwa supaya dapat dihukum seseorang, maka perbuatan seseorang harus dibuktikan bahwa terdakwa telah membinasakan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang dan bahwa pembinasaan dan sebagainya itu harus dilakukan dengan sengaja dan dengan melawan hak, serta bahwa barang itu harus sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain.
Berdasarkan uraian R. Soesilo di atas, jelas bahwa perbuatan pelaku dapat dikenakan Pasal 406 Ayat (1) KUHP, sehingga perkara yang dilaporkan oleh 22 warga Kabupaten Way Kanan seharusnya dengan mengacu pada ketentuan ini, maka sudah terang benderang perbuatan pelaku masuk rumusan melanggar ketentuan Undang-Undang, sehingga laporan tersebut harus segera ditingkatkan ke tahap penyidikan.
Selain itu, hal ini didukung fakta dan data pula bahwa diduga pengrusakan tersebut dilakukan dengan unsur kesengajaan bukan kealpaan, maka berlakulah penyelesaian secara hukum pidana.
Hal ini diperkuat oleh S.R Sianturi yang menerangkan dalam bukunya ‘Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya (halaman 675)’ yang menyatakan bahwa apabila kehancuran dan kerusakan itu terjadi karena suatu kealpaan, maka penyelesaiannya adalah di bidang hukum perdata.
Di dalam hukum tanah, dikenal ada 2 (dua) asas yang satu sama lain bertentangan yaitu yang dikenal dengan asas pelekatan Vertikal (verticale accessie beginsel) dan asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding beginsel).
Asas pelekatan vertikal yaitu asas yang mendasarkan pemilikan tanah dan segala benda yang melekat padanya sebagai suatu kesatuan yang tertancap menjadi satu. Berbeda dengan Asas pelekatan Vertikal, Asas pemisahan horizontal merupakan pemilikan atas tanah dan benda-benda yang berada di atas tanah itu adalah terpisah. Pemilikan atas tanah terlepas dari benda-benda yang ada di atas tanah, sehingga pemilik hak atas tanah dan pemilik atas bangunan yang berada di atasnya dapat berbeda (Koeswahyono, 2008).
Pada dasarnya Asas pemisahan horizontal hak-hak atas tanah yang merupakan sifat asli dari hak-hak yang ada di dalam hukum adat yang tetap dipertahankan, akan tetapi disesuaikan dengan kenyataan kebutuhan masyarakat masa kini.
Dalam hal ini, hak atas tanah tidak meliputi kepemilikan atas tanam tumbuh dan bangunan yang ada di atasnya, karena bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada di atas suatu bidang tanah adalah milik pihak yang membangun atau yang menanam, baik pihak itu pemegang hak atas tanahnya sendiri atau orang lain, kecuali kalau diperjanjikan sebaliknya, sehingga Perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang ada di atasnya, kalau hal itu tidak secara tegas dinyatakan (Santoso, 2012).
Dari uraian di atas, ada 3 hal yang memperkuat bahwa telah terjadi perbuatan pelaku yang diduga telah merusak tanam tumbuh di atas suatu objek hukum (tanah) milik orang lain, maka jelas bahwa penyelesaian terhadap Laporan 22 warga ini harus dilakukan secara atau melalui penegakan sistem hukum pidana, mengingat pertama, adanya ketentuan Pasal 406 Ayat 1 KUHP yang dilanggar dan kedua, bahwa diduga pengrusakan tersebut terjadi karena kesengajaan bukan kealpaan, serta ketiga ada ketentuan dalam hukum tanah yakni berlakunya Asas Horizontal dalam kepemilikan tanah di Indonesia.
Untuk menyatakan bahwa penanganan terhadap dugaan pengrusakan ini harus menggunakan hukum Pidana bukan Hukum Perdata, juga didukung terkait kepemilikan tanah. Tanah yang dimiliki oleh 22 (dua puluh dua) warga dengan jumlah sebanyak 23 Sertifikat Hak Milik (SHM) telah melalui proses pendaftaran tanah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Pada dasarnya 22 (dua puluh dua) warga yang memiliki 23 (Dua Puluh Tiga) SHM telah mendaftarkan tanahnya sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, sehingga harus mendapatkan perlindungan hukum dari Negara, hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) terkait Pendaftaran Tanah.
Di dalam Pasal 19 Ayat (1) dijelaskan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah maka diadakan Pendaftaran Tanah diseluruh Wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah dan Pasal 19 Ayat (2) huruf (c) Pendaftaran tersebut dalam Ayat (1) Pasal ini meliputi pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Selain di dalam UUPA, di dalam Pasal 1 PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dijelaskan bahwa Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan, Pendaftaran Tanah sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997, Pendaftaran Tanah itu memiliki tujuan yakni untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
Berdasarkan Pasal 32 Ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 dijelaskan bahwa “Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”.
Terhadap 23 (Dua Puluh Tiga) SHM milik warga tersebut juga telah berlaku secara sah tanpa ada yang menggugat karena sejak tahun 2014 saat pertama kali terbitnya SHM tidak ada pihak yang berkeberatan dan melakukan gugatan pembatalan atas kepemilikan SHM warga, maka berdasarkan Pasal 32 Ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 yang menjelaskan bahwa “Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepala kantor pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut”.
Berdasarkan rujukan penjelasan di atas, bahwa terbitnya 5 (lima) SHM milik Terlapor tahun 2018 dan beberapa Surat Pernyataan Penguasaan Bidang Fisik Tanah (SPORADIK), diduga bertentangan dengan ketentuan yang ada di dalam UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997, karena diduga telah menguasai hak orang lain secara melawan hukum dan terbitnya SHM serta SPORADIK di atas tanah yang sudah bersertifikat adalah perbuatan pidana yakni diduga telah terjadi penyerobotan tanah dan dugaan Tindak Pidana Pemalsuan Surat dan serta tindak pidana Penggunaan Surat Palsu.
Oleh karena perbuatan pelaku bukan saja memenuhi rumusan perbuatan berdasarkan Pasal 406 Ayat 1 KUHP, diduga pengrusakan tersebut juga terjadi karena kesengajaan bukan kealpaan dan ada ketentuan dalam hukum tanah yakni berlakunya Asas Horizontal dalam kepemilikan tanah di Indonesia, serta kepemilikan SHM warga yang telah terbit sejak 2014 adalah menguatkan bahwa kepemilikan tanah warga melekat 2 asas sekaligus yakni asas pelekatan Vertikal (verticale accessie beginsel) dan asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding beginsel).
Dalam kesimpulannya, bahwa tidak ada hal yang mengarahkan perbuatan pelaku pada tindakan yang melanggar hukum perdata (privat), namun kecenderungan utuh penegakan hukumnya harus dilakukan secara pidana mengingat hal-hal di atas.
Berkaitan dengan kepemilikan SHM ganda (double) terhadap 23 (dua puluh tiga) SHM warga yang terbit tahun 2014 yang berlokasi di Negara Mulya dan 5 (lima) SHM milik Terlapor tahun 2018 diduga berlokasi di Negara Batin, penegak hukum tidak perlu menitikberatkan kesimpulan perkaranya harus melalui gugatan perdata terlebih dahulu, mengingat sudah ada yurisprudensi apabila terdapat SHM ganda yakni putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) yang dapat dijadikan dasar untuk memperkuat penegak hukum khususnya Kepolisian Resor Way Kanan dalam meningkatkan status laporan warga dengan meningkatkan ke tahap penyidikan terhadap laporan warga tersebut yakni Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 5/Yur/2018, yang kaidah hukumnya menyatakan “Jika terdapat sertifikat ganda atas tanah yang sama, dimana keduanya sama-sama otentik maka bukti hak yang paling kuat adalah sertifikat hak yang terbit lebih dahulu”.
Selain itu, Putusan Mahkamah Agung No. 976K/Pdt/2015 tanggal 27 November 2015, kaidah hukumnya menyatakan “Bahwa dalam menilai keabsahan salah satu dari 2 (dua) bukti hak yang bersifat outentik maka berlaku kaedah bahwa sertifikat hak yang terbit lebih awal adalah yang sah dan berkekuatan hukum”.
Dan yang terakhir adalah Putusan Mahkamah Agung No. 290K/Pdt/2016 tanggal 17 Mei 2016, kaidah hukumnya menyatakan “Bahwa jika timbul sertifikat hak ganda maka bukti hak yang paling kuat adalah sertifikat hak yang terbit lebih dahulu”.
Dengan demikian, hal yang menjadi dasar apabila penyidik akan meningkatkan laporan warga tersebut ke tahap penyidikan atas perbuatan pelaku, maka pertimbangannya adalah pertama, bahwa perbuatan pelaku telah masuk dalam rumusan Pasal 406 Ayat (1) KUHP, kedua, diduga pengrusakan dilakukan bukan karena kealpaan dan ketiga, terdapat asas horizontal antara kepemilikan tanah dengan tanam tumbuh dan bangunan di atas tanah, serta keempat, Kepemilikan SHM warga telah diakui secara sah oleh hukum yang diperkuat berdasarkan sumber hukum yakni Yurisprudensi.
Meskipun dalam hukum memungkinkan untuk pelaku atau siapapun melayangkan gugatan sebagai upaya menangguhkan proses pidana pengrusakannya sebagaimana ketentuan dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1956, namun peraturan ini tidak berlaku untuk tindak pidana pengrusakan, mengingat terdapat asas horizontal dalam kepemilikan tanah dan meskipun ada gugatan hukum secara keperdataan, maka dapat dikesampingkan. Dengan kata lain proses pidananya harus tetap dilaksanakan, meskipun ada gugatan keperdataan dari pihak terlapor atau pelaku.
*) Akademisi dan Praktisi Hukum/ Direktur Law Firm Gindha Ansori Wayka – Thamaroni Usman (GAW-TU) dan Lembaga Bantuan Hukum Cinta Kasih (LBH-CIKA)
Follow me in social media: