Gantanews.co – Rupiah kembali melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Kamis (14/11), setelah data inflasi AS yang lebih tinggi dari ekspektasi menggerakkan pasar. Inflasi AS tercatat naik menjadi 2,6% pada Oktober 2024, yang lebih tinggi dibandingkan angka 2,4% pada bulan sebelumnya. Kenaikan ini menjadi yang pertama dalam tujuh bulan terakhir, di tengah tren inflasi yang melandai dari Maret hingga September 2024.
Berdasarkan data Refinitiv, rupiah dibuka melemah sebesar 0,16% pada angka Rp 15.795/US$, dan tak lama setelah perdagangan dibuka, rupiah merosot lebih dalam menjadi Rp 15.840/US$. Ini menunjukkan dampak langsung dari hasil rilis data ekonomi yang lebih tinggi dari prediksi, yang menekan nilai tukar rupiah. Sebelumnya, pada penutupan perdagangan 13 November 2024, rupiah sempat menguat tipis 0,03%.
Disisi lain, indeks dolar AS (DXY) tercatat naik sebesar 0,1% pada angka 106,58 pada pukul 08:56 WIB, menguat dibandingkan posisi sebelumnya yang ada di angka 106,48.
Faktor Eksternal Memengaruhi Pergerakan Rupiah
Kenaikan inflasi di AS memberikan tekanan pada mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. Dengan inflasi yang meningkat, pasar kini memperhitungkan kemungkinan Bank Sentral AS, The Fed, untuk menahan suku bunga atau bahkan bersikap lebih hawkish. Langkah ini akan meningkatkan daya tarik dolar AS dan memperburuk prospek mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dalam konteks ini, penguatan dolar AS berpotensi memicu arus modal keluar (capital outflow) dari Indonesia, yang dapat mengurangi ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga. Selain itu, kebijakan perdagangan proteksionis yang kemungkinan akan diterapkan oleh pemerintah AS di bawah kepemimpinan Donald Trump semakin memperburuk tekanan inflasi global. Tarif tinggi yang diterapkan dalam kebijakan perdagangan bisa mendorong biaya impor yang lebih tinggi, berpotensi memperburuk situasi ekonomi global.
Dampak Terhadap Indonesia
Bagi Indonesia, kondisi ini menjadi perhatian serius. Kenaikan inflasi AS yang lebih tinggi dari ekspektasi mengisyaratkan bahwa The Fed mungkin akan lebih berhati-hati dalam menurunkan suku bunga. Hal ini berpotensi menyebabkan penguatan lebih lanjut pada dolar AS, yang bisa mengancam stabilitas rupiah.
Dengan dolar AS yang lebih kuat, investor mungkin akan lebih memilih untuk memindahkan investasinya ke aset yang dianggap lebih aman, terutama dolar AS. Hal ini tentu saja memberikan tantangan bagi Bank Indonesia dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. (red)