Hendri Yosodiningrat Resmi Pimpin Kembali DPP GRANAT, Ini Profil Singkatnya

waktu baca 5 menit

GANTANEWS,CO. Bandung – Seperti sudah menduga sebelumnya, Hendri Yosodiningrat kembali terpilih menjadi Ketua Umum DPP GRANAT pada Munas Ke-3 di Bandung. Ia terpilih setelah sidang Komisi yang dipimpin Tony Eka Chandra memutuskan dirinya kembali menjadi Ketua Umum untuk periode 2022-2027.

Pengesahan Ketua Umun DPP GRANAT ini berdasarkan pandangan umum 10 DPD GRANAT dan 1 Dewan Pendiri yang menyatakan mendukung agar Dr. Hi. KRH. Hendri Yoso Diningrat tetap memimpin DPP GRANAT 5 tahun ke depan.

Usai terpilih, Hendri Yosodiningrat mengucapkan banyak terima kasih atas dukungan yang diamanatkan kepadanya. Ia juga menyatakan terharu dan bangga dengan kebersamaan dan soliditas yang telah berhasil dirawat dengan baik oleh seluruh pengurus GRANAT selama ini.

Berikut Biografi singkat K.R.H. HENRY Yosodiningrat

Bung Hendry identik sebagai pengacara sukses dan pendiri lembaga antinarkoba garda terdepan di negeri ini: GRANAT (Gerakan Nasional Anti Narkotika). Sekarang ia terpilih menjadi Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan dari Daerah Pemilihan Lampung II periode 2014-2019.

Pengacara flamboyan ini lahir di sebuah daerah yang memiliki pantai dengan keindahan alam yang sangat indah, yaitu Krui, Pesisir Barat, Lampung pada tanggal 1 April tahun 1954. Masa kanak-kanak dan SD dijalani Henry secara berpindah: Sekolah rakyat di Krui, Pugungtampak, SD Negeri 1 Liwa dan di Metro. Semua karena mengikuti tugas ayahnya.

Setelah tamat SDN pada 8 Metro 1967, Henry ke SMPN Metro dan tamat 1970. Di bangku SMA, Henry sering berkelahi. Dia pun dikeluarkan dan pindah-pindah SMA: Mulai dari SMAN Metro lalu ke SMAN 3 Palembang, kembali lagi ke SMAN Metro dan dikeluarkan lagi, kemudian pindah ke Yogyakarta.

Di Yogya, Henry masih dengan kebiasaan lamanya: Berantem. Dari SMA De Britto, dia bolak-balik pindah sekolah sampai akhirnya tamat dan memperoleh ijazah dari SMA Yayasan 17 Agustus Yogyakarta pada Desember 1975.

SMA dia selesaikan lima tahun di tujuh SMA. Tahun 1976, Henry melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan meraih gelar sarjana hukum tahun 1981.

Henry ikut pula mendirikan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang menegakkan hak-hak politik Partai Demokrasi Indonesia yang diberangus rezim Orba. Kelak, hasil perjuangannya menjadi marwah bagi Reformasi yang bergulir di Indonesia sampai hari ini.

Di GRANAT, Henry kerap memasukkan nilai perjuangan dalam dimensi lain. “Sebagai pejuang, kita mesti memelihara komitmen moral dan tetap di barisan terdepan memimpin gerakan moral melawan kejahatan peredaran gelap narkoba.

“Haramkan dirimu mengharap penghargaan apalagi imbalan. Perlakukanlah pecandu/korban penyalahgunaan narkoba dengan kasih agar cepat pulih dan kembali ke kehidupan normal.” Kalimat itu sering ditekankannya saat melantik Relawan GRANAT di seantero Republik ini, termasuk di Lampung.

Henry aktif di berbagai organisasi intra maupun ekstra sejak SMP, perguruan tinggi, bahkan hingga sekarang. Beberapa teman Henry menuliskan kesaksian, semua aktivitas itu membawa Henry ke ketajaman pemikiran, berpendirian kuat, dan bersemangat.

Saat di bangku kuliah ia pernah menjadi Redaksi Kepala Majalah Keadilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Ia bercerita, di majalah yang tadinya dijual sekitar Rp 5000, ia gratiskan kepada semua warga kampus, karena majalah tersebut sangat diminati dan mampu menghasilkan iklan dari produk-produk makanan atau jasa travel yang cukup lumayan untuk menghidupi produksi dan uang jajan awak redaksinya.

Sebagai Ketua Umum dan pendiri Granat, Henry dikenal dengan semangatnya yang pantang surut. Dalam banyak penyuluhan antinarkoba, Henry kerap menyuarakan suara tegas seperti ini: Saudara-saudaraku tidak berjuang sendiri karena saya berada pada barisan paling depan di antara kalian.

Henry (ayah 4 anak dan kakek 3 cucu) berayahkan Haji Abdul Muin Dulaimi gelar Kapitan Dalom Mahkota Raja, generasi XIII dari Sai Batin Marga Pugung Penengahan. Sang ayah adalah Pejuang dan Veteran Pejuang Kemerdekaan RI. Ibunya, Hj. Hayarani gelar Batin Ayu berasal dari Pulau Pisang (Krui) juga Pejuang dan Veteran Pejuang Kemerdekaan RI.

Karena adat-istiadat, Sai Batin Marga Pugung Penengahan berkewajiban memberikan gelar Kapitan Mahkota Raja kepada Henry Yoso ketika menikah dengan Rr. Soeltiana Endang Moerniningsih, akrab dipanggil Utiek. Dan karena kepeloporan serta keberaniannya dalam memerangi kejahatan dan sindikat narkotik di Indonesia, Keraton Surakarta Hadiningrat memberikan kehormatan kepada Henry berupa penganugerahan gelar kebangsawanan: Kanjeng Raden Haryo (K.R.H.) pada 26 November 2002 dalam suatu upacara peringatan kenaikan tahta/Tingalan Dalem Jumenengan Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakoe Boewono XII ke-59, yang dihadiri/disaksikan ribuan hadirin termasuk pejabat-pejabat tinggi RI di Keraton Surakarta.

Sepak terjang Henry Yoso di bidang hukum menggelombang sejak 1980-an sampai sekarang. Berbagai perkara besar ditangani dengan sukses. Henry memang amat identik dengan dunia hukum yang digelutinya berpuluh tahun.

Sebagai ahli hukum, tahun 2007 Henry menjadi narasumber pemerintah dalam penyusunan uji materi UU Narkotika di Mahkamah Konstitusi (MK) dan sebagai anggota Panitia Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan UU Perubahan atas UU 22/1997 tentang Narkotik.

Pendapat Henry-lah yang akhirnya dipakai hakim MK untuk tetap memberlakukan hukuman mati. Padahal, lawan debatnya adalah nama-nama besar di dunia hukum, dalam dan luar negeri, seperti Prof. Dr. J.E. Sahetapy. Dr. Todung Mulya Lubis, Racland Nassidiq dari Imparsial, dan Prof. Philips Alston dari New York University School of Law.

Mereka menyatakan Dewan HAM PBB telah menolak hukuman mati karena melanggar hak asasi manusia karena di dalamnya ada unsur penghilangan nyawa. “Hasil dari save guard dan kerja Komisi HAM merupakan standar internasional,” kata Philips. “Hukuman mati sangat bertentangan dengan Pancasila. Saya tetap berkeyakinan hukuman mati tidak akan memberantas peredaran narkotik. Hukuman seumur hidup tanpa remisi jauh lebih baik daripada hukuman mati,” kata Prof. Sahetapy.

Henry membantah, “Kejahatan narkotik termasuk kategori serious crime. Hak untuk hidup tidak bersifat mutlak karena ada pengecualian bagi kejahatan serius. Jika 40 orang tewas setiap hari dan negara dirugikan Rp262 triliun per tahun karena narkoba, apa itu tidak serius?”

Hukum adalah jalan tunggal bagi terciptanya masyarakat yang tertib. Semua sama di mata hukum. Penegakan hukum belum terlalu tampak wujudnya karena kita memang belum konsisten mengoptimalkan fungsi dan kewibawaan lembaga penegak hukum. Selain itu, sistem pelayanan hukum kita belum mengacu ke sistem yang cepat dan berbiaya murah.

Tapi, itu bukan pekerjaan mudah. Itu sebabnya perlu dilakukan pengawasan publik terhadap konsistensi penegakan hukum sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran dan independensi hukum serta dalam pengendalian perilaku penegakan hukum di daerah.(adip)