DPR RI Sahkan Revisi UU TNI, SAFEnet Soroti Ancaman Militerisasi Ruang Siber
Gantanews.co – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada Kamis (20/3). Namun, langkah ini mendapat penolakan dari berbagai kalangan, terutama dari organisasi masyarakat sipil yang menyoroti dampaknya terhadap ruang digital.
Baca juga: Ketua DPR RI Puan Maharani Sahkan RUU TNI menjadi Undang-undang
Salah satu pihak yang menentang revisi ini adalah Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet). Organisasi yang fokus pada advokasi hak digital ini menilai bahwa revisi UU TNI dilakukan tanpa transparansi dan partisipasi publik. Mereka juga mengkhawatirkan adanya indikasi militerisasi di ruang siber.
Kekhawatiran SAFEnet terhadap RUU TNI
Dalam pernyataan resminya pada Jumat (21/3), SAFEnet menyoroti beberapa poin dalam revisi UU TNI yang berdampak langsung pada kebebasan digital masyarakat. Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah Pasal 7 ayat (2) huruf b nomor 15 dan 16, yang memperluas kewenangan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Ketentuan ini mencakup upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber serta melindungi kepentingan nasional di luar negeri.
Menurut SAFEnet, perluasan kewenangan tersebut membuka peluang bagi negara untuk menerapkan pendekatan militeristik dalam menangani ancaman siber. Hal ini dikhawatirkan dapat mengarah pada pengawasan massal, penyensoran informasi, dan pembatasan kebebasan berekspresi di ruang digital.
Respons DPR RI terhadap Kritik
Menanggapi kritik tersebut, Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin menegaskan bahwa revisi ini bertujuan untuk memperkuat pertahanan nasional, termasuk di dunia maya. Dalam keterangan persnya pada Sabtu (15/3), ia menjelaskan bahwa perang siber bukan hanya menyerang infrastruktur fisik, tetapi juga aspek virtual dan kognitif. Oleh karena itu, menurutnya, TNI perlu diberikan kewenangan lebih luas untuk menghadapi ancaman siber yang semakin kompleks.
Namun, SAFEnet menilai bahwa narasi perang siber ini dapat digunakan sebagai justifikasi untuk meningkatkan kontrol negara atas arus informasi di ruang digital. Mereka khawatir bahwa kebijakan ini berpotensi mengancam hak asasi manusia, terutama dalam hal kebebasan berekspresi dan privasi warga negara.
Potensi Penyalahgunaan dan Alternatif Solusi
SAFEnet juga menyoroti kemungkinan penyalahgunaan kewenangan yang diberikan kepada TNI dalam mengelola ruang siber. Mereka menekankan bahwa ancaman siber seharusnya tidak hanya dilihat sebagai ancaman bagi negara dan militer, tetapi juga sebagai permasalahan yang lebih luas yang memerlukan pendekatan multidisipliner.
Sebagai alternatif, SAFEnet mendorong pemerintah untuk lebih fokus pada percepatan pembahasan regulasi turunan dari Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) serta penguatan tanggung jawab korporasi digital. Menurut mereka, langkah-langkah ini lebih relevan dalam menjaga keamanan digital masyarakat dibandingkan dengan memberikan kewenangan lebih luas kepada militer.
Selain itu, ketentuan dalam revisi UU TNI yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan-jabatan sipil juga menjadi perhatian. SAFEnet menilai bahwa hal ini dapat membuka peluang bagi kebijakan-kebijakan yang berorientasi militer dalam mengatur ruang digital, yang berpotensi bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Revisi UU TNI yang telah disahkan DPR RI terus menuai kontroversi. SAFEnet dan berbagai organisasi masyarakat sipil menilai bahwa langkah ini berisiko memperkuat militerisasi ruang siber serta mengancam hak digital masyarakat. Sementara itu, DPR RI berpendapat bahwa kebijakan ini diperlukan untuk menghadapi ancaman siber yang semakin berkembang. Dengan perdebatan yang masih berlangsung, publik kini menanti bagaimana implementasi dari regulasi baru ini akan berdampak pada kebebasan digital di Indonesia. (red)