Ditinggalkan dan Harus Bertahan: Kebingungan di Pilkada Lampung 2024

waktu baca 4 menit

Pilkada 2024 di Lampung telah menjadi sebuah drama politik yang penuh dengan kejutan dan teka-teki. Bukan hanya siapa yang akan diusung oleh partai politik, tetapi juga bagaimana rekomendasi yang berubah arah dalam hitungan hari telah menciptakan ketidakpastian di kalangan kader dan masyarakat. Seperti sebuah permainan catur, setiap langkah yang diambil oleh partai besar seperti Golkar dan PDI-Perjuangan membawa konsekuensi yang tidak hanya mempengaruhi kandidat, tetapi juga kader dan pendukung di akar rumput.

Dinamika Internal Partai Golkar di Lampung

Bayangkan situasi Arinal Djunaidi, Ketua DPD Partai Golkar Lampung, yang sejak awal mendapatkan dukungan penuh dari partainya untuk maju dalam Pilkada 2024. Pada tanggal 4 Juli 2024, ketika Airlangga Hartarto masih memimpin DPP Golkar, dukungan itu diberikan tanpa ragu. Namun, ketika Bahlil Lahadalia mengambil alih kepemimpinan di DPP Golkar, situasinya berubah drastis. Rekomendasi yang sebelumnya mantap untuk Arinal tiba-tiba dialihkan kepada Rahmat Mirzani Djausal dan Jihan Nurlela.

Bayangkan bagaimana perasaan para kader dan pendukung Arinal di tingkat daerah. Mereka yang awalnya yakin bahwa sosok yang telah lama mereka dukung akan maju dengan bendera Golkar, kini harus menghadapi kenyataan bahwa Arinal justru harus mencari dukungan dari partai lain. Situasi ini seperti seorang anak yang tiba-tiba melihat orang tuanya memberikan warisan kepada orang lain, sementara dia sendiri harus mencari cara untuk bertahan hidup.

Koalisi Tak Terduga: Arinal Djunaidi dan Sutono

Ketika dukungan dari Golkar beralih, Arinal tidak menyerah. Sebagai seorang politisi berpengalaman, dia beradaptasi dengan cepat, menjalin koalisi yang tidak terduga dengan Sutono, Sekretaris DPD PDI-P Lampung. Sebuah langkah yang mengejutkan banyak pihak, mengingat Golkar dan PDI-P sering kali berada di kubu yang berseberangan.

Keputusan ini tidak hanya mengejutkan publik, tetapi juga menimbulkan kebingungan di kalangan kader dari kedua partai. Kader-kader Golkar kini harus memperjuangkan pasangan Rahmat Mirzani Djausal dan Jihan Nurlela, melawan calon gubernur dari partai mereka sendiri, yakni Arinal, yang kini berkoalisi dengan PDI-P. Sementara itu, kader-kader PDI-P berjuang untuk memenangkan Arinal, yang merupakan ketua partai rival politik mereka.

Bagi kader Golkar, situasi ini mungkin terasa seperti harus bertarung melawan ketua partai mereka sendiri, Arinal, sementara mereka memperjuangkan calon dari koalisi yang berbeda. Di sisi lain, bagi kader PDI-P, pertanyaan yang mungkin muncul adalah: Apakah kami benar-benar berjuang untuk visi yang sama, ataukah kami hanya terpaksa berkoalisi demi kepentingan sesaat?

Dinamika Bandar Lampung: Eva Dwiana dan Pergolakan Rekomendasi

Di tingkat kota Bandar Lampung, dinamika yang tak kalah rumit terjadi. Selama ini, banyak yang mengira bahwa PDI-P akan mengusung Eva Dwiana, seorang kader dan pengurus PDI-P. Stigma yang kuat bahwa PDI-P identik dengan Eva Dwiana telah terbentuk di masyarakat Bandar Lampung, membuatnya seolah menjadi pilihan yang sudah ditentukan.

Namun, hingga hari pertama pendaftaran Pilkada pada 27 Agustus 2024, PDI-P belum juga mengumumkan dukungannya.

Kader dan pendukung mulai merasa cemas, bertanya-tanya apakah partai ini benar-benar akan meninggalkan Eva, yang selama ini mereka anggap sebagai “bintang utama” nya, apakah partai ini benar-benar akan meninggalkan kadernya sendiri?

Kejutan besar pun terjadi pada 28 Agustus, ketika PDI-P akhirnya mengumumkan bahwa mereka mendukung pasangan Reihana dan Aryodhia Febriansyah. Bayangkan betapa terkejutnya para pendukung Eva Dwiana, yang mungkin merasa seperti anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya tanpa alasan yang jelas. Dukungan yang sebelumnya diharapkan, kini harus diterima oleh sosok lain yang mungkin tidak mereka kenal seperti mereka mengenal “Bunda Eva”.

Implikasi Jangka Panjang

Dinamika politik yang terjadi di Lampung ini tidak hanya mencerminkan ketidakstabilan dalam proses pengambilan keputusan di tingkat partai, tetapi juga menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian di kalangan kader dan pendukung. Ketika rekomendasi partai berubah dengan cepat, kepercayaan dan loyalitas yang selama ini terbangun bisa saja tergoyahkan.

Bagi Golkar dan PDI-P, menjaga kepercayaan para kader dan pendukung menjadi tantangan besar di tengah situasi ini. Jika tidak dikelola dengan baik, ketidakstabilan ini bisa berdampak pada hasil Pilkada dan bahkan masa depan partai di daerah.

Kesimpulan

Pilkada 2024 di Lampung telah menghadirkan banyak kejutan, dari perubahan rekomendasi hingga koalisi yang tak terduga. Bagi para kader dan pendukung, situasi ini tidak hanya membingungkan, tetapi juga menuntut kesabaran dan keteguhan hati dalam menghadapi perubahan yang terjadi.

Sebagai pemilih, kita perlu melihat lebih jauh dari sekadar perubahan rekomendasi atau koalisi. Penting bagi kita untuk tetap kritis dan memahami bahwa dinamika politik ini adalah bagian dari permainan yang lebih besar. Pada akhirnya, suara kita yang akan menentukan arah masa depan Lampung yang hingga saat ini menjadi provinisi termiskin ketiga di Pulau Sumatera dan peringkat ke 10 di Indonesia.

Penutup

Mari kita gunakan hak pilih kita dengan sebaik-baiknya, dengan mempertimbangkan apa dan siapa yang terbaik bagi Lampung dan masa depannya. (red)