Catatan Merah Pendidikan Tinggi di Indonesia
Oleh: Yongki Davidson
Pendidikan secara etimologi kata itu sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu ducare, yang berarti “menuntun, mengarahkan, atau memimpin”.Secara umum pendidikan merupakan sebuah proses pembelajaran ,pengetahuan, keterampilan, serta kebiasaan yang dilakukan suatu individu dari satu generasi ke generasi lainnya. Proses pembelajaran ini melalui pengajaran, pelatihan dan penelitian.
Pendidikan Tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.
Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan pendidikan di Indonesia yang terdapat dalam sebuah pembukaan UUD 1945. Masalah pendidikan nasional yang terjadi saat ini dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi tiba-tiba mengalami gejala kapitalisasi, privatisasi,dan liberalisasi pasca reformasi politik dimulai pada tahun 98 tepatnya pada tanggal 21 mei bersamaan dengan kejatuhan rezim Soeharto.
Situasi seperti ini lumayan sulit diterjemahkan oleh masyarakat umum karena cara kerja nya yang amat begitu halus. Dan akhirnya masyarakat berada dalam satu perangkap yang membuat dirinya tidak lagi dapat mengakses pendidikan baik dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi secara mudah seperti sebelumnya.
Pada tahun 1982 perguruan tinggi negeri seperti Universitas gadjah Mada (UGM) kemudian Institusi Teknologi Bandung (ITB), universitas Indonesia (UI), institut pertanian Bogor (IPB) dan perguruan tinggi besar lainnya itu dapat diakses oleh orang miskin karena hanya membayar kurang lebih sebesar Rp 18.000 per semester untuk jurusan sosial itu Rp 24.000 sedangkan untuk jurusan eksakta kurang lebih Rp 900, tiba-tiba di awal abad ke-21 tidak dapat diakses lagi orang-orang seperti dalam kondisi 1982 hal itu karena terjadi salah atau hambatannya adalah biaya pendidikan yang tinggi dan tidak terjangkau oleh masyarakat golongan menengah ke bawah.
Pada tingkat perguruan tinggi awal liberalisasi pendidikan itu dimulai dengan privatisasi 4 PTN terkemuka yaitu UI UGM ITB dan IPB menjadi PTN BHMN( perguruan tinggi badan hukum milik negara) pada tahun 2000. Dan pembentukan BHMN ini diterima oleh para senat guru besar atau kalangan akademisi di PTN masing-masing karena dibungkus dengan istilah otonomi kampus .
Semua tidak menyadari bahwa yang di otonomikan itu hanya sebatas pada pencarian dana dan pengelolaan keuangan saja, sedangkan otonomi kampus secara keseluruhan tidak diberikan sepenuhnya. Terbukti dalam hal pemilihan pimpinan perguruan tinggi negeri ( Rektor ) di PTN yang di atas menteri pendidikan Nasional memegang 35% suara sendiri. Ini merupakan sebuah jumlah yang sangat besar karena sangat menentukan seseorang dapat terpilih atau tidak sebagai calon rektor mengingat anggota Majelis wali amanah ( MWA) hanya memiliki satu suara saja.
Mengapa perubahan status dari perguruan tinggi negeri (PTN) ke Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN ) itu menjadikan PT BHMN mahal ? Hal itu tidak lepas dari dorongan ke arah otonomi dan kemandirian BHMN.
Menurut Satryo Soemantri Brodjonegoro ( Dirjen pendidikan tinggi 1998-2007) BHMN adalah status yang dalam hal ini perguruan tinggi bisa mengelola diri sendiri secara mandiri mereka mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan dan mengambil kebijakan sendiri.
Konsekuensi dari privatisasi itu adalah subsidi untuk PT BHMN berkurang atau tetap, tapi perguruan tinggi dalam kurung PT yang bersangkutan dituntut untuk meningkatkan kualitas dan pelayanan kepada mahasiswa. Akibatnya, mau tidak mau pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan memobilisasi pencarian dana dari banyak sumber dan salah satunya yang paling mudah adalah dari mahasiswa maka sejak muncul kebijakan bhmn SPP di semua PTN terkemuka air terus naik secara signifikan setiap tahunnya dan dikembangkan pula teknik-teknik penerimaan mahasiswa baru melegitimasi untuk mendapatkan sebuah keuntungan besar.
Lantas masih tepatkah Pembukaan UUD 1945 tersebut apabila melihat kondisi pendidikan Indonesia seperti ini ?
Dalam konteks Kebebasan mimbar akademik dalam hal ini pula menjadi sebuah sorotan besar kita semua.
Dimana pada Pada dasarnya, konsep kebebasan akademik diakui dan dihormati secara universal.Di Indonesia, keberadaannya dapat dikaitkan dengan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa:
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Dan lebih lanjut pula diatur, diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti).
Pasal 8 ayat (1) UU Dikti menyatakan bahwa: Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.
Kebebasan akademik merupakan kebebasan sivitas akademika dalam pendidikan tinggi untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan tridharma.
Sedangkan yang dimaksud dengan akademik di sini bukan sekadar tempatnya, seperti ruang kelas atau di lingkungan kampus.
Akademik dimaksud adalah sesuatu yang bersifat ilmiah atau bersifat teori yang dikembangkan dalam pendidikan tinggi dan terbebas dari pengaruh politik praktis. Artinya, apabila ada kegiatan di luar aktivitas belajar di kelas (nonakademik) namun tetap bersifat ilmiah dalam pendidikan tinggi, maka seluruh sivitas akademika juga dilindungi oleh konsep kebebasan akademi ini.
Kebebasan akademik juga berlaku untuk mahasiswa. Mahasiswa, bersama dengan dosen dan tenaga kependidikan, adalah bagian dari sivitas akademika atau warga akademik pendidikan tinggi.
Mahasiswa sebagai anggota sivitas akademika diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensi diri di perguruan tinggi untuk menjadi intelektual, ilmuwan, praktisi, dan/atau profesional.
Mahasiswa memiliki kebebasan akademik dengan mengutamakan penalaran dan akhlak mulia serta bertanggung jawab sesuai dengan budaya akademik.
Dalam menerapkan kebebasan akademik tersebut, pimpinan perguruan tinggi wajib melindungi dan sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) UU Dikti yang berbunyi:
Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di Perguruan Tinggi merupakan tanggung jawab pribadi Sivitas Akademika, yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan Perguruan Tinggi.
Jelas dalam hal ini bahwasannya pimpinan perguruan tinggi tidak melarang, melainkan wajib melindungi dan memfasilitasi kegiatan mahasiswa yang bersifat ilmiah.
Dalam beberapa waktu belakangan ini, hal ini menjadi sebuah anomali belaka.
Bagaimana yang terjadi dengan 9 orang kawan- kawan mahasiswa Teknokrat Yang di Dropt out ( DO) & di skorsing dikarenakan membangun Sekretariat di luar Kampus, kemudian bagaimana yang terjadi dengan 5 gubernur jurusan di politeknik negeri Lampung yang diberikan SPT 1 oleh pihak kampus yang dituduh akan melakukan sebuah gerakan yang dapat menggangu kegiatan belajar mahasiswa, kemudian bukan hanya di provinsi Lampung saja yang mengalami kasus pembungkaman akademik.
Bagaimana yang terjadi di daerah luar Lampung itu sendiri di daerah Jawa bahkan lebih banyak daripada di provinsi Lampung seperti teman kita dari Unnes yang diskorsing oleh pihak rektorat karena melaporkan rektornya ke ke KPK, belum lagi teman-teman yang berada di Pulau Kalimantan, Sulawesi ,Papua dan lainnya.
Sungguh miris melihat kondisi pendidikan tinggi di Indonesia seperti ini !!!
Kegiatan-kegiatan mahasiswa seperti diskusi ilmiah ini harus nya didukung oleh berbagai pihak karena berangkat dari sebuah diskusi seperti ini, akan lahirlah sebuah pemikiran-pemikiran atau gagasan yang luar biasa.
Hal itu lah yang harus di isi oleh seorang mahasiswa dan didukung oleh berbagai pihak guna menerapkan isi dari Pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
* Penulis Adalah Sekum HMI MPO Cab Bandar Lampung
Follow me in social media: