Banyak Makan Korban, Jalan Tol Lampung Diruwat Saja! Setuju Ya…

waktu baca 3 menit
Ilustrasi

JALAN Tol Trans Sumatera di Lampung terus memakan korban. Tercatat, sudah belasan nyawa melayang di sana. Mungkinkah karena belum disedekahin?

Disedekahin serupa dengan melakukan ritual ruwatan yang hingga kini masih sering dilakukan oleh masyarakat di Pulau Jawa.

Tradisi ruwatan laut juga biasa dilakukan di Lampung oleh masyarakat suku Jawa yang berdiam di sepanjang pesisir Lampung.

Ruwatan laut dilakukan dengan menggelar pesta melarung kepala kerbau atau sapi ke tengah laut. Tujuannya, agar hasil tangkapan nelayan bertambah. Boleh percaya atau tidak, tapi biasanya setelah ruwatan, hasil tangkapan nelayan memang banyak.

Tak cuma di pesisir, tradisi ruwatan juga sering dilakukan oleh masyarakat Lampung di bagian darat. Masyarakat desa menyebutnya bersih desa.

Tradisi bersih desa dilakukan dengan sentuhan ritual sakral keagamaan, di mana orang-orang kampung berkumpul dan berdoa bersama, memohon ampunan dan dijauhkan dari malapetaka.

Setelah berdoa, seluruh masyarakat desa makan bersama dalam suasana gembira, seolah-olah baru saja terlepas dari gangguan buruk dan ancaman bencana.

Bahkan, pernah suatu ketika, sedekahan, ruwatan atau apa pun namanya, dilakukan pula oleh masyarakat kota.

Dulu, sekitar belasan tahun lalu, warga di sebuah gang di Kelurahan Kupang Teba, Telukbetung Utara, pernah melakukan ruwatan untuk tujuan mengusir roh atau jin jahat yang dianggap telah mengganggu ketentraman warga di dalam gang itu.

Ruwatan dilakukan di musala. Ramai sekali, bahkan anak-anak pun ikut serta. Semua orang memanjatkan doa, memohon keselamatan dan bersalawatan. Setelah itu makan-makan.

Ruwatan digelar karena ada gejala yang “tak beres” di gang itu, yakni makin banyaknya anak-anak muda yang tak malu jalan sempoyongan karena mabuk Vigur atau Songhi.

Dulu, tuak belum populer dan hanya tersedia di Lapo Tuak tertentu.

Puncak dari suasana yang ‘tak beres’ itu, dua warga meninggal dunia, bukan karena mabuk, melainkan karena bunuh diri. Sejak itu, suasana gang menjadi sepi, terutama di malam hari.

Namun setelah acara ruwatan ramai lagi. Mereka seketika lupa dengan peristiwa ada warga yang bunuh diri beberapa hari lalu. Warga tak lagi dan jalan masuk gang sampai jauh ke dalam ramai lagi.

Ruwatan dalam dalam bahasa Jawa sama dengan kata luwar, berarti lepas atau terlepas.
Diruwat artinya dilepaskan atau dibebaskan.

Pelaksanaan upacara itu disebut ngruwat atau ruwatan, berarti melepaskan atau membebaskan dari hukuman atau kutukan dewa yang menimbulkan bahaya, malapetaka atau keadaan yang menyedihkan.

Ngeruwat dapat juga berarti dipulihkan atau dikembalikan pada keadaan semula, tetapi juga menolak bencana yang diyakini akan menimpa pada diri seseorang, mentawarkan atau menetralisir kekuatan gaib yang akan membahayakan.

Dalam konteks ini, jalan tol yang kerap terjadi kecelakaan dapat pula dilakukan ruwatan untuk tujuan membersihkan atau membebaskan dari pengaruh jahat.

Caranya, ya berdoa bersama-sama, makan bareng, atau menyiramkan air kembang atau darah segar dari kepala kerbau atau sapi yang dipotong.

Jika ini menjadi tradisi, mudah-mudahan jin atau setan akan pergi. Tuhan akan melindungi dengan kemahaan sayang dan kasihNya.

Andai pula ini menjadi tradisi, apalagi bila mengemasnya dengan atraksi lokal yang apik, akan banyak wisatawan mancanegara yang tertarik hanya untuk sekadar melihat, misalnya, orang-orang makan bersama di jalan tol sepanjang puluhan kilometer, dengan hidangan yang sama, pakai daun pisang, tanpa piring sendok dan garpu.

Intinya, bahwa melaksanakan tradisi leluhur
itu selalu bisa mendatangkan kedamaian, selain menyenangkan dan menggembirakan.

Dan lebih dari itu, melaksanakan tradisi leluhur yang kuno sekalipun, punya “taste” yang lebih mengundang decak penduduk dunia, ketimbang perayaaan ngopi bareng ala-ala.

Masalahnya, mau gak kita?

(iwaperkasa)

Follow me in social media: