Penanganan Sengketa Tanah Antara PT. Huma Indah Mekar dan masyarakat Tulangbawang Barat
Penanganan Sengketa Tanah Antara PT. Huma Indah Mekar dan masyarakat Tulangbawang Barat
Oleh: Monica Tampubolon, Putri Ayu Elvina, Sri Mulia Dewi, Balqis Salsabilla Rozi, Juli Rustia, Revira Pardesi *)
SENGKETA tanah yang terjadi di Indonesia, khususnya di Provinsi Lampung, jumlahnya terus semakin meningkat. Sengketa tanah yang terjadi di Lampung, salah satunya di Tulangbawang Barat yang terjadi antara PT HIM dengan masyarakat yang diberikan hak tanah transmigrasi.
Konflik ini secara terus menerus dan belum adanya penyelesaian antara kedua belah pihak, hingga mengakibatkan konflik semakin berkepanjangan dan mengakibatkan bentrok antara kedua belah pihak.
Sengketa tanah terjadi pada PT HIM selaku perusahaan perkebunan karet terjadi sejak tahun 1980 dengan masyarakat pribumi Tulangbawang Barat. PT HIM mengklaim 1.470 hektar milik warga lima kebuaiyan/keturunan Kabupaten Tulangbawang Barat.
Sejak terjadi konflik pada tahun 1980, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai pihak yang mampu berperan dalam menjembatani permasalahan sengketa tanah tersebut. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi mempunyai andil yang cukup besar dalam hal penyelesian persoalan tanah-tanah transmigrasi di Indonesia, khususnya tanah transmigrasi di Lampung. Maka dari itu konflik yang terjadi di Tulangbawang Barat ini merupakan tanah transmigrasi yang menjadi salah satu tanggung jawab Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mempunyai hak untuk tanah transmigrasi.
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentu menyadari bahwa konflik yang berdampak ketidak nyamanan antara kedua pihak yang bersengketa adalah tantangan yang harus dihadapi secara menyeluruh sehingga konflik tersebut dapat terselesaikan dengan cara adil antara kedua pihak sehingga tidak ada konflik. Tindakan yang sudah dilakukan verifikasi masyarakat Tulang Bawang Barat, pengumpulan dokumen penguasaan hak tanah, serta pengukuran ulang di areal Hak Guna Usaha (HGU).
BPN mempunyai peran yang signifikan dalam proses penyelesaian konflik agraria. Hal ini termuat dalam Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dengan adanya peran ini BPN membentuk suatu deputi yaitu kedeputian bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan.
Untuk menambah kejelasan deputi ini BPN telah menerbitkan keputusan kepala BPN Nomor 34 Tahun 2007 tentang petunjuk teknis penanganan dan penyelesaian masalah pertanahan yang telah diganti dengan peraturan kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011 tentang pengelolaan pengkajian dan penanganan kasus pertanahan. Dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan konflik pertanahan, BPN melakukan upaya antara lain melalui mediasi.
Menurut David Berry dalam bukunya Wirutomo (1981:99-101) menyatakan bahwa dalam peranan yang berhubungan dengan pekerjaan, sesorang dapat diharapkan menjalankan kewajibannya yang berhubungan dengan peranan yang di pegangnya. Peranan didefinisikan sebagai perangkat harapan-harapan yang dikenakan kepada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu.
Peranan ditentukan oleh norma-norma masyarakat, maksudnya kita diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan masyarakat didalam pekerjaan kita, di dalam keluarga dan di dalam peranan peranan lain.
Kriteria penyelesaian disebutkan dalam pasal 72 Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 sebagaimana di dalam Modul Direktorat Konflik Pertanahan Badan Pertanahan Nasional RI 2012) yakni Kriteria Satu (k-1) berupa penerbitan Surat PemberitahuanPenyelesaian Kasus Pertanahan dan pemberitahuan kepada semua pihak yang bersengketa, Kriteria dua(k-2) berupa penerbitan Surat Keputusan tentang pemberian hak atas tanah, pembatalan sertifikat hak atas tanah, pencatatan dalam buku tanah,atau perbuatan hukum lainnya sesuai Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan dan Kriteria tiga (k-3) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang ditindak lanjuti mediasi oleh BPN sampai pada kesepakatan berdamai atau kesepakatan yang lainnya yang disetujui oleh para pihak.
Selain itu, ada Kriteria empat (k-4) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang intinya menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan akan melalui proses perkara di pengadilan, karena tidak adanya kesepakatan untuk berdamai, Kriteria lima (k-5) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan yang telah ditangani bukan termasuk kewenangan BPN dan dipersilakan untuk diselesaikan melalui instansi lain dan Bantuan hukum dan Perlindungan.
Bantuan hukum dilaksanakan untuk kepentingan BPN RI atau aparatur BPN RI yang masih aktif atau sudah purna tugas yang menghadapi masalah hukum. Bantuan hukum meliputi pendampingan hukum dalam proses peradilan pidana, perdata atau tata usaha negara, pengkajian masalah hukum yang berkaitan dengan kepentingan BPN dan pengkajian masalah hukum akibat tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai BPN.
Sengketa merupakan konflik antara dua pihak atau lebih yang memiliki kepentingan berbeda terhadap satu atau beberapa obyek Hak Atas Tanah. BPN merupakan Lembaga Pemerintah non Kementerian yang bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan.
Sengketa pertanahan biasanya diketahui oleh Badan Pertanahan Nasional dengan adanya pengaduan dan ditindaklanjuti dengan mengidentifikasi masalah untuk mengenali masalah serta selanjutnya pemeriksaan data fisik dan administrasi serta yuridis kemudian membuat rekomendasi untuk penyelesaian. Konflik tanah antara masyarakat Bandar Dewa merupakan sengketa yang meng-gunakan pendekatan Non-legal formal karena adanya HGU dan struktur agraria sudah jelas yang menjadi permasalahannya adalah masyarakat adat lima keturunan Bandar Dewa.
Dalam hal ini bentuk keterlibatan BPN Provinsi Lampung sebagai perwakilan BPN RI dalam pengambilan keputusan dalam penanganan sengketa tanah antara PT HIM dan masyarakat Tulang Bawang Barat antara lain dengan tahap- tahap yang sudah ada dalam rumusan penanganan sengketa yang terjadi di Provinsi Lampung. BPN selaku aktor mediator penanganan kasus yang terjadi di Lampung yaitu di Tulang Bawang Barat yang bersengketa dengan masyarakat adat yang sifatnya sulit diatur.
BPN mempunyai tahapan dalam penanganan konflik yang terjadi yaitu tahap awal pelaporan sebelum adanya peloparan dari pemerintah setempat atau pihak yang bersangkutan jadi tidak ada tindakan yang harus dilakukan untuk konflik yang terjadi, setelah pelaporan sudah masuk maka dilanjutkan dengan penanganan kasus yang dimulai dari non pengadilan seperti mediasi antar kedua pihak, kemudian tahap selanjutnya yaitu pemetaan kasus yang terjadi, kemudian tahap selanjutnya yaitu identifikasi kasus dan yang terakhir yaitu penyelesaian konflik yang terjadi. Jadi itulah tahapan yang dilakukan BPN untuk menangani konflik yang terjadi di Lampung dan khususnya di Tulang Bawang Barat yang sengketanya sudah lama belum terselesaikan.
Dalam rangka menghindari peristiwa seperti di atas, hendaknya pemerintah dengan benar melepas hak atas tanah dengan pihak yang berhak dan pemerintah perlu memberikan dorongan positif dan edukasi kepada masyarakat adat agar sadar akan pentingnya regulasi tentang kepemilikan tanah.
*) Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung
Follow me in social media: