Penyelesaian Sengketa Tanah dalam Perkara Perbuatan Melawan Hukum
Penyelesaian Sengketa Tanah dalam Perkara Perbuatan Melawan Hukum
Oleh: Galang Egio Artaditano, Ahmad Zainal Abidin, Rahmad Roziwan, Heru Budikhurniawan, Dendi Achber, Daniel
DI INDONESIA, pengaturan tanah diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 Ayat (3) yang mengatur bahwa Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Secara mendasar, tanah merupakan segala hal yang terkandung di dalamnya adalah milik negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat yang kemudian diatur dalam Undang-undang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dalam Pasal 1 ayat (2) (UUPA) ditegaskan bahwa: seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam Wilayah Republik Indonesia.” Sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air, dan ruang angkasa Bangsa Indonesia merupakan kekayaan nasional.
Persoalan sengketa tanah dalam perkara perbuatan melawan hukum juga banyak terjadi di dalam masyarakat, karena setiap orang tidak menginginkan sesuatu yang dimilikinya itu jatuh ketangan orang lain apalagi benda tersebut sudah menjadi hak milik. Oleh karena itu untuk mempertahankan harta terutama hak milik atau hak milik atas tanah maka harus didaftarkan, karena pendaftaran hak milik atas tanah merupakan suatu hal yang mutlak dilakukan dan pada perjanjian yang dibuat oleh orang perorangan atau orang dengan badan hukum yang telah mengikat kedua belah pihak yang apabila dikemudian hari terjadi sengketa maka dapat diselesaikan dalam hukum acara perdata.
Dengan adanya hukum acara perdata, masyarakat merasa ada kepastian hukum bahwa setiap orang dapat mempertahankan hak perdatanya dengan sebaik-baiknya, dan setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap hukum perdata yang mengakibatkan kerugian terhadap orang lain dapat dituntut melalui pengadilan.
Dengan hukum acara perdata diharapkan tercipta ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat. Namun proses penyelesaian sengketa tanah dalam pengadilan banyak mendapatkan kritik oleh kalangan masyarakat.
Banyak sekali putusan oleh hakim yang dirasa berat sebelah atau dapat dikatakan hanya mengambil keputusannya untuk kemenangan badan hukum pemerintahan. Namun proses penyelesaian sengketa tanah dalam perkara perbuatan melawan hukum juga tidak hanya dapat diselesaikan dalam pengadilan, proses penyelesaiannya juga dapat dilakukan secara non litigasi.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigasi) dianggap jauh lebih efektif dan efisien, sehingga seiring berkembangnya berbagai cara penyelesaian sengketa (settlement method) di luar pengadilan yang dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam berbagai bentuk, sebagaimana ditegaskan pada Undang-undang Republik Indonesia dalam Pasal 1 angka 10 UU No 30 Tahun 1999, alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Ditambahkan kembali melalui ketentuan Undang-undang Republik Indonesia No 48 Pasal 60 ayat (1) Tahun 2009 yang menegaskan bahwa alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.
Negosiasi sebagai sarana bagi para pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah, sehingga tidak ada prosedur baku, akan tetapi prosedur dan mekanismenya diserahkan kepada kesepakatan para pihak yang bersengketa tersebut. Penyelesaian sengketa sepenuhnya dikontrol oleh para pihak, sifatnya informal, yang dibahas adalah berbagai aspek.
Konsiliasi merupakan penyelesaian sengketa dengan intervensi pihak ketiga (konsiliator), dimana konsiliator lebih bersifat aktif dengan mengambil inisiatif menyusun dan merumuskan langkah-langkah penyelesaian yang selanjutnya ditawarkan kepada para pihak yang bersengketa. Jika pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan, maka pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa.
Meskipun demikian, konsiliator tidak berwenang membuat putusan, tetapi hanya berwenang membuat rekomendasi, yang pelaksanaanya sangat bergantung pada itikad baik para pihak yang bersengketa sendiri.
Mediasi sendiri merupakan penyelesaian sengketa dengan dibantu oleh pihak ketiga (mediator) yang netral/ tidak memihak. Peranan mediator adalah sebagai penengah (yang pasif) yang memberikan bantuan berupa alternatif-alternatif penyelesaian sengketa untuk selanjutnya ditetapkan sendiri oleh pihak yang bersengketa.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, mediasi diberikan arti sebagai cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Peran mediator membantu para pihak mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa dengan cara tidak memutus atau memaksakan pandangan atau penilaian atas masalah-masalah selama proses mediasi berlangsung. Berbeda dengan bentuk Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) lainnya, arbitrase memiliki karakteristik yang hampir serupa dengan penyelesaian sengketa adjudikatif.
Sengketa dalam arbitrase diputus oleh arbiter atau majelis arbiter yang mana putusan arbitrase tersebut bersifat final and binding. Namun demikian, suatu putusan arbitrase baru dapat dilaksanakan apabila putusan tersebut telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri (Pasal 59 ayat (1) dan (4) UU No.30/1999). Dalam hal para pihak sepakat untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase, maka sengketa tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan.
Menurut data, alternatif penyelesaian sengketa menawarkan berbagai bentuk proses penyelesaian yang fleksibel dengan menerapkan satu atau beberapa bentuk mekanisme yang dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan dan dengan demikian sengketa diusahakan mencapai suatu penyelesaian final. Memahami sengketa secara tepat dengan memperhitungkan berbagai implikasinya akan mampu membantu pihak ketiga yang diminta secara netral/ independen melalui mekanisme alternative penyelesaian sengketa untuk sampai kepada penyelesaian. Atau memungkinkan merancang suatu proses mekanisme yang paling sesuai dengan sengketanya.
Bila dilihat dari mekanisme penyelesaiannya, maka mekanisme yang ada saat ini sudah bisa menjadi solusi atas kebutuhan pemenuhan prinsip keadilan dan kepastian hukum dari para pihak-pihak yang bersangkutan. Para pihak yang mempunyai hak milik atas tanah diharapkan untuk lebih teliti lagi dan penuh pertimbangan dalam membuat suatu perjanjian. Dan untuk para penegak hukum yang mempunyai wewenang dalam proses penegakan hukum guna terciptanya keadilan diharapkan untuk lebih mempertimbangkan putusan-putusan yang dikeluarkan untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya tanpa melihat pihak mana yang menjadi lawan perkara.
Berdasarkan mekanisme penyelesaian yang telah ada, maka dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa tanah dalam perkara perbuatan melawan hukum terhadap hak milik atas tanah, dapat dilakukan dengan dua cara yaitu proses penyelesaian sengketa di pengadilan (litigasi) yaitu orang yang dilanggar haknya dapat melakukan tuntutan kepengadilan dengan melakukan permohonan atau gugatan, ataupun penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non-litigasi) yaitu para pihak dapat menyelesaikan permasalahan nya tanpa pihak ketiga ataupun dengan melibatkan pihak ketiga.
Sedangkan dalam hal melawan hukum sendiri, karena perbuatan melawan hukum tidak diatur oleh undang-undang secara spesifik oleh karena itu aturan yang dipakai adalah sebuah ganti kerugian. Dalam pasal 1365 KUHPerdata, tidak ada pengaturan yang mengatur tentang adanya kerugian yang diderita oleh penggugat karena perbuatan melawan hukum yang tergugat lakukan. Sehingga seharusnya pemerintah membuat pengaturan ganti kerugian (lebih spesifiknya ada pada pasal 1365 KUHPerdata). (*)
Follow me in social media: