Kopi Agroforestri untuk Kesejahteraan Petani
LAMPUNG BARAT – Sekolah Lapang Kopi di Desa Tebaliokh telah berlangsung selama delapan minggu dan akan berlangsung dalam durasi satu tahun hingga melewati satu kali masa panen kopi. Pada saat tim pendampingan berkunjung ke lokasi plot sekolah lapang, para petani sedang belajar cara pemangkasan ranting.
Samsi, salah satu petani kopi sekaligus peserta pelatihan yang kebunnya dijadikan plot sekolah lapang mengungkapkan bahwa banyak hal baru yang ia pelajari selama sekolah lapang.
“Ternyata selama ini cara kami mengelola kebun kopi kurang tepat. Kami belum berani untuk memangkas ranting, akibatnya daunnya banyak dan rantingnya panjang, tetapi buah kopinya malah kurang,” ujar Samsi.
Ahmad Erfan, pelatih sekolah lapang kopi, memaparkan bahwa yang menjadi masalah utama kebun kopi di Lampung Barat, khususnya Desa Tebaliokh bukan paska panen, tetapi jumlah produksinya yang rendah. Saat ini produksi kopi di Tebaliokh hanya 600 kg/hektar.
“Peserta sekolah lapang sudah menilai produksi kebun kopinya masing-masing. Misalnya di lahan kopi seluas 20×20 meter yang menjadi plot, ternyata hanya 22 dari 100 batang kopi yang baik. Sementara untuk mencapai produksi buah kopi yang optimal diperlukan sekitar 16-18 cabang pada setiap batang tanaman kopi. Wajar jika jumlah produksi kebun masih rendah,” jelas Erfan.
Selain pemasukan dari kopi yang hanya panen setahun sekali, Erfan juga mendorong agar lahan ditanam dengan sistem agroforestri untuk memberikan pemasukan tambahan. Misalnya cabai dan pohon penaung yang dapat dimanfaatkan seperti alpukat, durian, sengon semendo, dadap, dan lamtoro. “Tanaman cabai, durian, dan pohon lainnya dapat memberikan pemasukan selama masa paceklik, sehingga hasil produksi lahan optimal dan petani dapat lebih sejahtera,” ujar Erfan. (rls)
Follow me in social media: