Gantanews.co – Kasus korupsi yang melibatkan Harvey Moeis kembali menjadi sorotan, kali ini terkait dugaan kebocoran data pribadi Hakim Eko Aryanto. Eko Aryanto adalah hakim yang memvonis Harvey Moeis, terdakwa dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah, dengan hukuman 6 tahun 6 bulan penjara.
Akun Instagram dengan nama pengguna @volt_anonym membagikan detail yang diduga merupakan data pribadi milik Hakim Eko Aryanto kepada lebih dari 321 ribu pengikutnya. Data tersebut mencakup Nomor Induk Kependudukan (NIK), alamat rumah, nomor telepon, informasi kendaraan, hingga detail keluarga. Informasi ini diduga berasal dari basis data pemerintah yang diretas.
Unggahan itu juga memuat rekam jejak Eko Aryanto selama menjabat di Pengadilan Negeri Tulungagung. Jika merujuk pada Pasal 67 Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi, pembocoran ini dapat dikenai sanksi pidana hingga lima tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp5 miliar.
Putusan yang Kontroversial
Vonis terhadap Harvey Moeis dinilai terlalu ringan oleh sebagian pihak, mengingat kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp300 triliun. Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Harvey dengan hukuman 12 tahun penjara. Namun, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, yang diketuai oleh Eko Aryanto, memutuskan untuk mengurangi tuntutan tersebut.
Hakim Eko menyatakan bahwa peran Harvey dalam kerja sama pengelolaan timah antara PT Timah Tbk dan beberapa pihak lainnya tidak sebesar yang dituduhkan.
“Tuntutan yang diajukan penuntut umum terlalu tinggi dan harus dikurangi,” ungkap Eko saat membacakan putusan pada 23 Desember lalu.
Kejaksaan Agung melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum, Harli Siregar, menegaskan bahwa bukti yang diajukan JPU telah sesuai dengan Pasal 183-184 KUHAP. Namun, ia mengakui adanya subjektivitas hakim dalam mempertimbangkan tuntutan.
Sementara itu, Juru Bicara Mahkamah Agung, Yanto, menyebut bahwa perubahan aturan terkait pertimbangan meringankan dalam putusan hukum hanya dapat dilakukan melalui revisi undang-undang.
“Pertimbangan tersebut harus disebutkan sebelum menjatuhkan vonis, sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP,” ujar Yanto.
Kasus ini terus menuai perdebatan, baik di kalangan ahli hukum maupun masyarakat luas. Di sisi lain, dugaan kebocoran data pribadi hakim ini menambah dimensi baru dalam persoalan hukum di Indonesia, terutama terkait keamanan data. (red)