Gantanews.co – Kampus Universitas Muhammadiyah (UM) Metro, khususnya Fakultas Hukum (FH), tengah menjadi sorotan setelah pembekuan Senat mahasiswa dan pelaporan dua anggotanya ke pihak kepolisian. Kejadian ini berawal dari aksi mahasiswa yang mengkritik kondisi fasilitas di kampus mereka pada 29 Agustus 2024, bertepatan dengan acara Masa Ta’aruf Mahasiswa (Mastama).
Aksi Mahasiswa Sebagai Bentuk Kritik
Menurut Decky Afani Hidayat, salah satu anggota Senat FH UM Metro, aksi tersebut dimulai dengan tulisan “Welcome Mahasiswa Baru di Kampus Bobrok,” yang dipajang oleh para mahasiswa. “Tujuan kami jelas, ingin menunjukkan betapa buruknya fasilitas yang ada di kampus ini, mulai dari toilet yang kotor, AC yang rusak, hingga kipas angin yang tidak berfungsi,” ujarnya. Selain itu, mahasiswa juga mengeluhkan tidak adanya kantin dan ruang diskusi yang memadai untuk kegiatan akademik.
Pembekuan Senat dan Tindak Lanjut dari Dekan
Hanya sehari setelah aksi tersebut, Dekan Fakultas Hukum mengeluarkan surat pembekuan Senat mahasiswa berdasarkan SK nomor 204/II.3.AU/F/SK-SENAT/FH/UMM/2024. “Pembekuan ini diiringi dengan klaim bahwa telah ada gelar perkara dengan Kasat Reskrim Polres Metro, meskipun kami kemudian mengetahui bahwa gelar perkara itu tidak pernah ada,” ungkap Decky.
Meskipun Senat FH telah melakukan audiensi dengan rektor untuk meminta perbaikan fasilitas, situasi tetap tidak berubah. Pada 30 September 2024, Senat FH UM Metro kembali menggelar demonstrasi dengan tuntutan yang sama: perbaikan fasilitas dan klarifikasi terkait gelar perkara yang disebut-sebut oleh Dekan Fakultas Hukum.
Pelaporan ke Polisi: Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik?
Setelah aksi demonstrasi tersebut, Dekan Fakultas Hukum melaporkan dua anggota Senat mahasiswa kepada polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik, terkait dengan penggunaan istilah “kampus bobrok” dalam aksi mereka. Laporan ini tercatat dengan nomor LP/B/290/X/2024/SPKT/POLRESMETRO/POLDALAMPUNG.
Decky mengaku bingung dan kecewa dengan tindakan ini.
“Kami merasa hak kami untuk mengkritik kampus sebagai bagian dari kebebasan berekspresi telah dilanggar. Kritik ini seharusnya dianggap sebagai masukan konstruktif,” ujarnya.
Menurut Decky, hak untuk mengkritik adalah bagian dari hak demokrasi yang dilindungi oleh Pasal 28E ayat 3 UUD 1945.
LBH Bandar Lampung Siap Dampingi Mahasiswa Korban Kriminalisasi
Tindak lanjut dari peristiwa ini datang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung. Direktur LBH, Sumaindra Jarwadi, mengecam pembekuan Senat dan kriminalisasi terhadap mahasiswa yang sedang menjalankan hak mereka untuk mengkritik. Ia menyebut bahwa tindakan ini menunjukkan sikap otoriter dari pihak kampus yang seharusnya menjadi tempat kebebasan akademik dan berpikir.
“Kasus seperti ini bukanlah yang pertama, sebelumnya ada sejumlah kampus yang juga mengkriminalisasi mahasiswa atas tindakan serupa. Kami mendesak agar Dekan Fakultas Hukum UM Metro mencabut SK pembekuan Senat dan menghentikan kriminalisasi terhadap mahasiswa,” tegas Sumaindra. LBH Bandar Lampung juga menyatakan siap memberikan pendampingan hukum kepada para mahasiswa yang terlibat.
Kampus Harus Menjadi Tempat Kebebasan Berpendapat
Kasus ini mencuatkan isu penting mengenai kebebasan berpendapat di kampus. Dalam pandangan LBH, tindakan kriminalisasi terhadap mahasiswa yang menyampaikan kritik konstruktif bisa mengancam prinsip dasar demokrasi. Oleh karena itu, LBH meminta agar pihak kampus lebih terbuka terhadap kritik dan segera melakukan perbaikan terhadap fasilitas yang sangat dibutuhkan oleh mahasiswa. (red)