Pahlawan-Pahlawan asal Lampung yang Berjuang Merebut Kemerdekaan: (1) Gele Harun Nasution, Tak Gentar Lawan Penjajah Meski Kehilangan Putrinya
Gantanews.co – Di antara riuh rendah perjuangan kemerdekaan Indonesia, lahir seorang pahlawan yang tak akan pernah dilupakan oleh tanah Lampung—Gele Harun Nasution. Terlahir di Sibolga pada 6 Desember 1910, darah Batak mengalir di tubuhnya, namun semangat Lampung membara di dalam jiwanya. Sejak kecil, Gele sudah akrab dengan tanah Lampung, tempat di mana ayahnya, Harun Al-Rasyid Nasution, seorang dokter, telah menetap dan memiliki tanah luas di Tanjungkarang Timur. Di sana, benih-benih cinta pada negara dan keberanian membela tanah air mulai bersemi.
Pada tahun 1945, di tengah kecamuk revolusi, Gele Harun tidak tinggal diam. Dia bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API) dan dengan cepat menjadi pemimpin gerakan tersebut. Namun, nasib membawanya ke jalan yang penuh tantangan ketika ia ditugaskan sebagai hakim di Mahkamah Militer Palembang pada tahun 1947, dengan pangkat Letnan Kolonel (tituler). Tak lama berselang, ultimatum Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Hubertus van Mook, memaksa seluruh tentara Indonesia untuk meninggalkan Palembang, termasuk hakim militer. Tapi, semangat Gele tak pernah pudar. Dia kembali ke Lampung, tempat di mana dia merasa harus mengangkat senjata untuk membela tanah airnya.
Gele Harun kembali ke Lampung tepat ketika Agresi Militer Belanda II meletus pada tahun 1948. Di tengah kobaran perang, pada 5 Januari 1949, dia diangkat menjadi Pejabat Residen Lampung, menggantikan Residen Rukadi yang terpaksa mundur. Namun, tugas ini bukanlah tugas yang mudah. Hanya dalam waktu beberapa minggu, Gele Harun harus memindahkan pusat pemerintahan dari Pringsewu ke Talangpadang, berusaha menyelamatkan pemerintahan dari gempuran Belanda yang semakin menggila. Tapi, ancaman itu tak berhenti di sana. Dia kembali memindahkan pemerintahan darurat ke pegunungan Bukit Barisan, hingga akhirnya mencapai Desa Sukaraja Way Tenong, Lampung Barat.
Di desa yang sunyi itu, Gele Harun berjuang keras mempertahankan kedaulatan negeri ini. Selama enam bulan, ia mengendalikan pemerintahan dari Way Tenong, dibantu oleh masyarakat setempat yang tanpa kenal lelah melawan penjajah. Namun, takdir tragis menimpanya. Serangan Belanda yang bertubi-tubi, bom yang tak henti-hentinya jatuh di Desa Mutar Alam, Tanjung Raya, dan Sukananti, membuat pasokan obat-obatan terputus. Di tengah derita dan kehancuran, putri kecilnya, Herlinawati, harus menyerah pada kematian. Bayi berusia delapan bulan itu tak mampu bertahan, dan jiwanya terbang menuju keabadian, meninggalkan duka mendalam di hati sang pahlawan. Jasadnya dimakamkan dengan penuh kesedihan di TPU Desa Sukaraja Way Tenong.
Tak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang ayah selain kehilangan darah dagingnya di tengah perang. Namun, Gele Harun tetap berdiri tegak. Pada 15 Agustus 1949, setelah gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda, dia bersama pasukannya meninggalkan Way Tenong dan kembali ke Tanjungkarang. Dia diangkat menjadi Ketua Pengadilan Negeri pada 1 Januari 1950, dan kemudian diangkat kembali sebagai Residen Lampung “definitif,” memimpin wilayah ini dengan hati yang penuh luka namun semangat yang tak pernah padam, hingga 7 Oktober 1955.
Gele Harun tidak hanya dikenang sebagai seorang pejuang, tetapi juga sebagai arsitek berdirinya Provinsi Lampung. Perjuangannya tidak berhenti di medan perang. Dia menjadi anggota Dewan Konstituante pada 1956 hingga 1959 dan anggota DPR-GR/MPRS dari fraksi PNI pada periode 1965-1968. Setelah itu, ia kembali ke profesi lamanya sebagai advokat, berjuang demi keadilan hingga hembusan napas terakhirnya pada 4 April 1973 di usia 62 tahun. Di TPU Kebonjahe, Enggal, Bandar Lampung, tubuhnya beristirahat, namun kisah heroiknya terus hidup dalam setiap detak jantung rakyat Lampung.
Dan pada 10 November 2015, sebagai penghormatan atas jasa-jasanya yang luar biasa, Gele Harun Nasution dinobatkan sebagai Pahlawan Daerah Lampung—sebuah penghargaan yang tak hanya menandai akhir perjuangannya, tetapi juga awal dari legenda yang akan terus dikenang selamanya. (red)