Gen Z, Ini Dia Kisah Kelam Mei 1998 yang Harus Kamu Tahu!

waktu baca 9 menit

Gantanews.co – Bagi generasi muda, terutama Gen Z, istilah “Tragedi Mei 1998” mungkin terdengar asing. Di balik gemerlap kemajuan Indonesia saat ini, terselip kisah kelam yang menjadi titik balik sejarah bangsa. Jauh dari gemerlap teknologi dan media sosial yang mereka kenal, 26 tahun lalu, Indonesia dilanda tragedi berdarah yang menorehkan luka mendalam.

Sebelum tragedi berdarah itu terjadi, Indonesia dilanda krisis ekonomi berkepanjangan. Dimulai dari krisis keuangan Asia tahun 1997, kondisi ekonomi Indonesia memburuk drastis. Harga kebutuhan pokok melonjak, pengangguran merajalela, dan rakyat terjerumus dalam kemiskinan. Di tengah situasi genting ini, Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun, dianggap tak mampu mengatasi krisis dan malah memperparah keadaan. Kemarahan rakyat pun meledak.

Bagi kamu yang belum mengetahui bahwa Indonesia pernah berada di titik kelam pemerintahan, hingga menciptakan kerusuhan dan penyerangan terhadap etnis tertentu, yuk simak kronologi dan fakta tragedi Mei 1998 berikut ini:

1 Mei 1998:

Soeharto, melalui Menteri Dalam Negeri Hartono dan Menteri Penerangan Alwi Dachlan, menyatakan bahwa reformasi baru bisa dimulai tahun 2003.

2 Mei 1998:

Soeharto meralat pernyataannya sebelumnya, mengatakan reformasi bisa dilakukan mulai saat itu. Presiden Soeharto mengikuti saran International Monetery Fund (IMF) untuk memangkas subsidi energi. Kebijakan tersebut memicu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dari Rp 700 per liter menjadi Rp 1.200 per liter. Kenaikan harga BBM memicu aksi penolakan mahasiswa di sejumlah wilayah.

3 Mei 1998:

Soeharto mengundang tokoh pimpinan DPR, partai politik, dan Golongan Karya (Golkar) ke kantornya di Bina Graha. Acara bertajuk “Pertemuan Silaturahmi dan Konsultasi Setelah Sidang Umum MPR” belangsung selama lebih dari 1 jam. Usai pertemuan, Menteri Dalam Negeri R Hartono dan Menteri Penerangan Alwi Dahlan menyampaikan hasi pertemuan tersebut yang menyebutkan jika Soeharto meminta DPR menggunakan hak inisiatifnya untuk mereformasi sejumlah rambu-rambu politik sesuai aspirasi masyarakat.

4 Mei 1998:

Mahasiswa di Medan, Bandung, dan Yogyakarta menggelar demonstrasi besar-besaran menolak kenaikan harga BBM. Demonstrasi di Bandung berujung pada kerusuhan saat demonstran bentrok dengan aparat keamanan. 16 mahasiswa Universitas Pasundan Bandung terluka akibat bentrokan tersebut.

5 Mei 1998:

Demonstrasi mahasiswa besar-besaran terjadi di Medan, Sumatra Utara, dan berujung pada kerusuhan.

9 Mei 1998:

Soeharto berangkat ke Kairo, Mesir, untuk menghadiri KTT G-15. Ini merupakan lawatan terakhirnya ke luar negeri sebagai Presiden RI.

12 Mei 1998:

Ribuan mahasiswa Universitas Trisakti mengadakan aksi damai, mereka hendak menyampaikan aspirasi ke DPR/MPR, namun dihadang aparat keamanan berlapis. Mereka pun memilih kembali ke kampus. Sore hari sekitar pukul 16.30 WIB, ketika sebagian besar mahasiswa sudah berada di dalam kampus, tiba-tiba dari arah belakang mahasiswa yang masih berada di bekas Kantor Wali Kota Jakarta Barat, terdengar letusan senjata.  Mahasiswa kaget, lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Sikap aparat memancing kemarahan mahasiswa. Dari dalam kampus mereka mulai melempari petugas.
Aparat membalas mereka dengan gas air mata dan menembaki mahasiswa, menewaskan 4 orang (Hafidin Royan, Elang Mulia Lesmana, Hery Hartanto, dan Hendryawan). Tragedi ini kemudian dikenal dengan “Tragedi Trisakti”

13 Mei 1998:

Tragedi Trisakti memicu kemarahan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi lainnya. Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi datang ke Kampus Trisakti untuk menyatakan duka cita. Jelang tengah hari, tiba-tiba sekelompok massa  yang tampak beringas muncul dari arah jalan Daan Mogot ke arah kampus Trisakti dan bentrok dengan aparat keamanan di bawah jembatan layang Grogol, Jakarta Barat. Kerusuhan pecah di sekitar Kampus Trisakti dan meluas ke berbagai wilayah di Jakarta, membuat Jakarta jadi kota berdarah yang kemudian dikenal dengan “Rabu Kelabu”

14 Mei 1998:

Saat berada di Kairo, melalui orang dekatnya, Soeharto menyatakan bersedia mengundurkan diri jika rakyat menginginkan. Hal itu disampaikan kepada masyarakat Indonesia yang tinggal di Kairo.

Di tanah air, situasi mulai memanas. Di ibukota, terjadi penjarahan dan pembakaran pusat-pusat perbelanjaan.

Pada 14 Mei 1998 kerusuhan mulai menyasar etnis tionghoa. Kebencian dan sentimen anti-Tionghoa yang telah lama menumpuk, dipicu oleh tuduhan palsu bahwa etnis Tionghoa merupakan dalang krisis moneter. Penjarahan dan pembakaran toko/rumah milik etnis dan pelecehan seksual terhadap etnis Tionghoa mulai terjadi di ibukota.

Tidak hanya di pusat perbelanjaan Glodok. Penjarahan dan pembakaran juga terjadi di Plaza Klender. Mengutip dari laman Tempo, di Plaza Klender ada 118 jasad yang ditemukan hangus, versi lain menyebut 400 orang, versi lain menyebutkan korban jiwa hingga 488 orang.

Kerusuhan dan penjarahan meluas, terjadi di beberapa pusat perbelanjaan lainnya di Jabotabek seperti Supermarket Hero, Superindo, Makro, Goro, Ramayana, dan Borobudur. Beberapa dari bangunan pusat perbelanjaan itu dirusak dan dibakar.

Gubernur DKI Jakarta saat itu, Sutiyoso, mengatakan kerugian akibat kerusuhan sekitar Rp 2,5 triliun. Sebanyak 4.939 bangunan rusak, termasuk 21 bangunan milik pemerintah.

Di Solo, massa merusak sejumlah bangunan, termasuk kediaman Ketua DPR/MPR Harmoko.

Anehnya, meski ibukota dilanda kerusuhan, penjarahan, dan pembakaran, pimpinan dan perwira-periwira tinggi TNI saat itu malah meninggalkan Jakarta.  Menjelang siang, Jenderal TNI Wiranto selaku Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI, justru membawa sejumlah panglima komando utama ke Malang, Jawa Timur, untuk memimpin upacara serah-terima tanggung jawab Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) ABRI dari Divisi I kepada Divisi II Kostrad.

Setelah mendapatkan informasi perkembangan situasi di tanah air dari putri sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut, Soeharto memperpendek kunjungannya dan segera kembali ke tanah air.

Setibanya di tanah air, Soeharto memanggil Wapres BJ Habibie, Wiranto, KSAD, dan Pangdam Jaya untuk mengevaluasi situasi. Soeharto membantah telah mengatakan bersedia mengundurkan diri.

Suasana Jakarta makin mencekam, toko-toko banyak ditutup, dan sebagian warga masih takut keluar rumah. Tidak hanya di Jakarta, suasana mencekam juga terjadi hampir di semua daerah di Indonesia. Toko-toko pada tutup dan tidak sedikit yang melabeli pintu toko-toko dengan tulisan “milik pribumi” karena takut menjadi incaran aksi penjarahan karena sentimen etnis.

15 Mei 1998:

Puncak kerusuhan terjadi pada 15 Mei 1998. Tak hanya di Jakarta, kerusuhan serupa juga terjadi di kota lain seperti di Medan, Palembang, dan Surabaya. Di Solo, ribuan perusuh menjarah dan membakar pabrik, mobil, rumah dan toko-toko milik etnis Tionghoa. Tidak hanya toko-toko, bank-bank bahkan terpaksa ditutup karena ancaman pembakaran. Perusuh juga memblokir jalan dari Semarang ke Surakarta. Kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa menjadi puncak kekejaman, dengan korban dilecehkan, disekap, bahkan dibunuh secara biadab.

Dampak kerusuhan Mei 1998 di Kota Solo adalah rusak dan dibakarnya 27 pusat perbelanjaan, 217 toko, 287 mobil dan truk, 570 sepeda motor, 24 showroom, 12 rumah makan, enam perkantoran dan bank, dan lain-lainnya. Korban tewas dalam tragedi ini setidaknya berjumlah 33 orang. Sebanyak 14 korban tewas terpanggang di Toserba Ratu Luwes, sisanya terbakar di Toko Sepatu Bata, Coyudan. Bukan hanya itu, pascakerusuhan Mei, masih terjadi kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap perempuan keturunan Tionghoa hingga 8 Juli 1998. Setidaknya 50-70 ribu masyarakat kehilangan pekerjaan akibat perusakan dan pembakaran dalam kerusuhan Mei 1998 di Kota Solo.

Suasana Jakarta makin mencekam, toko-toko banyak ditutup, sebagian warga pun masih takut keluar rumah.

Tidak hanya di Jakarta, suasana mencekam juga terjadi hampir di semua daerah di Indonesia. Toko-toko pada tutup dan tidak sedikit yang melabeli pintu toko-toko dengan tulisan “milik pribumi” karena takut menjadi incaran aksi penjarahan karena sentimen etnis.

16 Mei 1998:

Warga asing berbondong-bondong kembali ke negara mereka. Bandara penuh penumpang yang datang mendadak, mencari tiket untuk segera meninggalkan Jakarta. Suasana di Jabotabek masih mencekam. Soeharto kembali memanggil Menhankam/Pangab Wiranto, KSAD, dan Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursyid ke kediamannya di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat.Mereka mendapat instruksi membentuk sebuah komando seperti Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).

18 Mei 1998:


Menamakan diri sebagai delegasi Gerakan Reformasi Nasional, sejak pagi ratusan mahasiswa dan masyarakat dengan melilitkan pita merah di kepala datang ke DPR/MPR. Selain ingin menyampaikan aspirasi, kedatangan mereka untuk menduduki gedung parlemen. Hal itu dilakukan untuk mendesak DPR agar memanggil MPR supaya segera menggelar Sidang Istimewa dengan agenda utama meminta pertanggung jawaban Presiden Soeharto sebagai mandataris MPR.

Siang harinya, Ketua DPR/MPR Harmoko didampingi wakil-wakilnya menggelar jumpa pers. Isinya, mencermati situasi terkini dan menyarankan Presiden Soeharto mengundurkan diri. Malam itu mahasiswa mulai menginap, dan ribuan delegasi, termasuk tokoh masyarakat tak putus mengalir ke DPR//MPR menyampaikan aspirasi agar Soeharto mengundurkan diri. Istilah “lengser keprabon” mulai saat itu terdengar dimana-mana.

19 Mei 1998:

Di tengah gejolak reformasi yang semakin kuat, Presiden Soeharto mengadakan dialog dengan 9 tokoh Islam diantaranya Nurcholis Madjid, Abdurachman Wahid, Malik Fajar, dan KH Ali Yafie. Pertemuan di Istana Merdeka itu diharapkan dapat meredakan situasi , namun justru gagal mencapai kesepakatan. Soeharto menolak mundur dan hanya menawarkan pembentukan Komite Reformasi, serta berjanji tidak mencalonkan diri kembali.

Kegagalan dialog dan penolakan Soeharto untuk mundur memicu kemarahan massa. Demonstrasi di sekitar Gedung MPR semakin membesar, dengan jumlah mahasiswa yang terus berdatangan. Melihat situasi yang memanas, Amien Rais, “Sang Lokomotif Reformasi”, mengajak para demonstran untuk beralih ke Lapangan Monumen Nasional (Monas) pada keesokan harinya, 20 Mei, untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Aksi di Monas ini diyakini sebagai salah satu momen penting dalam gerakan reformasi yang mengantarkan Indonesia ke era baru.

20 Mei 1998:

Jalan menuju Lapangan Monamen Nasional (Monas) diblokade aparat keamanan dengan pagar kawat berduri. Hal ini dilakukan untuk mencegah massa memasuki kompleks Monumen Nasional. Namun, rencana pengerahan massa ke Monas urung dilakukan.

Perubahan mendadak terjadi di kubu pro-reformasi. Pada dini hari, Amien Rais, salah satu tokoh kunci reformasi, meminta massa untuk tidak datang ke Lapangan Monas. Ia khawatir kegiatan itu akan menelan korban jiwa.

Meskipun demikian, ribuan mahasiswa tetap bertahan dan semakin banyak berdatangan ke gedung MPR/DPR. Mereka terus mendesak agar Soeharto mundur.

Di tengah situasi yang memanas, Soeharto menerima pukulan telak. Malam harinya, ia menerima surat dari 14 menteri anggota kabinetnya, yang menyatakan tidak bersedia duduk dalam Kabinet Reformasi. Kabinet ini dibentuk Soeharto untuk meredam desakan mundur, namun justru ditinggalkan oleh orang-orang terdekat yang selama ini dianggap loyal.

21 Mei 1998:

Tepat pukul 09.05 WIB, sejarah Indonesia mencatat momen penting. Di Istana Merdeka, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan Presiden Republik Indonesia. Pengumuman ini mengakhiri 32 tahun kepemimpinannya di era Orde Baru.

Segera setelah pengumuman tersebut, Wakil Presiden BJ Habibie dilantik menjadi Presiden ketiga Republik Indonesia. Perpindahan kekuasaan ini menandai dimulainya era baru bagi bangsa Indonesia, yaitu era Reformasi.

Tragedi Mei 1998 menjadi luka mendalam bagi bangsa Indonesia. Namun, dari tragedi ini pula lahirlah era baru yang penuh harapan, era Reformasi yang membawa angin perubahan dan demokrasi bagi Indonesia.

Peristiwa ini menjadi pengingat penting bagi generasi muda untuk memahami sejarah bangsa dan pentingnya menjaga perdamaian serta persatuan di tengah keberagaman.

Tragedi Mei 1998 bukan hanya cerita kelam, tetapi juga kisah perjuangan rakyat untuk menegakkan demokrasi dan keadilan. Semangat reformasi yang lahir dari tragedi ini harus terus dikobarkan untuk membangun Indonesia yang lebih baik. (w)

Follow me in social media:
adv adv
error: Content is protected !!