Cuma Dia, yang Lain ke Mana (Dukungan untuk Calon Ketua PWI Lampung Juniardi)
ANDAI Boleh Memilih, Saya Pilih Juniardi menjadi ketua PWI pada konferensi nanti.
Andai saya punya cukup uang, saya akan hibahkan sebagian uang saya untuk dia supaya dia dapat melakukan apa-apa yang telah dan akan dilakukan calon ketua lainnya.
Dan andai saya cukup tenaga, saya akan bantu dia dengan sekuat-kuatnya menjadi kaki atau punggung untuk dia.
Tapi sayang, tiga andai itu saya tak punya.
Perkenalkan Saya Ilwadi Perkasa
Saya adalah anggota PWI sejak pertama kali menjadi wartawan dulu. Tapi itu sudah lama sekali.
Saya mengikuti tes seleksi menjadi anggota PWI di sekolah depan rumah Bang Sutan almarhum. Saya lulus.
Tapi, sampai sekarang saya tidak punya kartu anggota, meski sering bolak-balik ke kantor PWI. Jujur, saya tak punya uang untuk membuat kartu anggota ketika lulus tes dulu.
Saya sangat kenal dengan para ketua PWI terdahulu, Bang Tubi, Bang Harun, Bang Soelaiman, Bang Rio, apalagi Bang Yadi.
Nama terakhir pernah satu kantor dengan saya di Harian Lampung Post.
Sebagian besar saya juga sangat kenal dengan para anggota pengurus PWI terdahulu. Yang saya tahu sebagian besar dari mereka sudah pergi meninggalkan kita.
Tapi saya hanya mengenal beberapa orang saja pengurus PWI periode sekarang ini. Mungkin itu karena saya jarang ke kantor PWI, atau tenggelam dengan kesibukan kerja sebagai pemimpin redaksi.
Saya bersyukur PWI Lampung sekarang diisi oleh anggota pengurus muda-muda dan umumya punya media sendiri. Saya ikut bangga dengan perkembangan itu.
Saya Memanggilnya Ijus Gondrong
Kembali ke figur Juniardi, saya sudah mengenalnya sejak 1999 dulu dikala saya jadi Kepala Biro Harian Trans Sumatera di Kota Metro.
Di Metro, saya berkantor di Hotel Musdalifa, dekat terminal kota. Tiap hari saya bolak-balik ke kantor DPRD Kota Metro. Saat itu kantornya kecil sekali, berada persis di depan Pasar Kopindo.
Di depan kantor DPRD itu ada pedagang koran eceran, saya lupa namanya, tapi pelanggannya banyak sekali. Di tepi jalan tempat dia berdagang itulah saya setiap hari nongkrong untuk numpang baca semua terbitan surat kabar, gratis.
Hampir setiap hari pula, saya melihat Juniardi. Badannya kecil, tapi lumayan atletis, bukan buncit seperti sekarang ini.
Rambutnya super gondrong, kadang diikat kadang dibiarkan terurai, rapi. Gayanya mirip anak punk, pakai sepatu jenggel lengkap dengan manik-manik berwarna silver.
Ikat pinggangnya juga begitu. Gagangnya bisa buat gebukin orang. Dia suka memakai kaos yang bergambar besar, dan tampak jelas meski dikejauhan.
Pokoknya, penampilannya sangat menjijikkan. Persis anak kamp..g!
Itu sebabnya saya benci dia. Ogah negur dia.
Tapi, Ijus (saya memanggilnya begitu) tetap berusaha ingin dekat dengan saya. Dia rajin menyapa saya. Dan sialan, ke mana saya liputan dia nguntit dari belakang.
Menjijikan tapi Kritis
Dan sumpah, saya tidak tahu dia kerja untuk koran apa. Saya tak pernah tanya, karena saya sudah menduga paling banter dia kerja untuk media terbitan mingguan dan bulanan yang pasti tak terkenal.
Tapi dia rajin liputan, tiap hari wira-wiri ke kantor walikota dan dewan. Entah ngapain. Saya tak pikirin itu.
Dan ini perlu untuk diketahui, Ijus adik ku yang menjijikkan itu sangat ngetop di Kota Metro. Semua orang kenal dia. Ijus gondrong, itu nama ngetopnya.
Pak Mozes Herman, walikota waktu itu, kenal baik dengan dia, Pak Lukman Hakim juga. Dia kenal baik pula dengan banyak anggota dewan di sana. Almarhum Pak Tri Legowo, ketua dewan dengan mudah bisa ditemuinya, kapan saya, di rumah atau di ruang kerjanya.
Akhirnya, pada suatu ketika dia berhasil mengajak saya bicara. Dia utarakan keinginannya ingin belajar menjadi wartawan betulan. Dia ingin bergabung dengan Trans Sumatera Biro Metro.
Dari pembicaraan singkat itu saya jadi tahu bahwa Juniardi itu mengetahui tentang apa pun yang terjadi di Kota Metro.
Dia tahu banyak soal kelakuan pejabat dan anggota dewan di Kota Metro. Dia kritis tapi tak punya media yang hebat untuk meledakkan sifat kritisnya itu.
Teman Sekamar yang Baik
Sejak itulah saya jatuh cinta kepadanya. Saya mulai berpikir, dengan merekrut dia, banyak hal yang bisa saya lakukan.
Bersama Mustaan, sekarang di Lampung Post, Ijus jadi mitra saya. Tugasnya, melakukan liputan sesuai arahan saya. Selebihnya, saya banyak menghabiskan waktu untuk mengeksplorasi pengetahuan dia tentang semua yang dia tahu. Pengetahuannya, kebanyakan ‘serem-serem’.
Ketika saya baru memulai ‘menggarap’ pengetahuannya, koran Trans Sumatera berhenti terbit. Padahal waktu itu, geng kami adalah geng wartawan paling disegani.
Bayangkan, saat itu oplah kami lumayan besar, bahkan paling besar dibanding media lain. Inkaso harian kami mencapai seribuan, dan bisa berlipat bila ada order insidental dari pejabat atau kantor yang memesan koran.
Persisnya, bukan memesan karena motif kebutuhan, tapi khawatir ada sesuatu yang akan kami ributkan. Pemesanan itu cuma sekedar agar kami ‘duduk manis’.
Soal iklan, kami tinggal minta. Waktu itu belum ada adepe-adepean seperti sekarang ini. Kebanyakan iklan ucapan. Kalau ada yang dilantik atau yang meninggal pasti kami dapat duit.
Tapi itu tak lama. Setelah itu, saya menghadapi masa sulit. Trans Sumatera tak terbit. Rasanya seperti kehilangan ‘badik’ yang sudah kami asah tajam.
Saya pun akhirnya hijrah ke rumah kosan Juniardi. Itu karena bujukannya. Kosan itu ada di kantor veteran dulu. Ukuran kamarnya cuma 3×3 meter. Kalau mandi nimba, kalau BAB ada toilet kampung yang mesti ngusung-ngusung air ke sana.
Hampir lima tahun saya menumpang di sana. Kami sudah seperti keluarga. Segala dosa kami perbuat di tempat itu, tapi kami tidak memakai narkoba. Kami hanya minum Angpu (anggur putih) di bawah pohon rindang di belakang kantor itu.
Ketika bokek, kami melipir ke Warung Pojok, makan pecel dan minta rokok. Yang bayar anggota dewan.
Kembali ke soal bahwa Jun itu sangat terkenal di Kota Metro. Itu beneran yang akhirnya terbukti membuka jalan.
Pada masa sulit itu, saya diminta Mingguan Suara Lampung punya Bang Kolam Gatra (alm) untuk mengurus korannya di Kota Metro.
Kami langsung bergerak mengumpulkan pelanggan. Saya minta Jun dan kawan-kawan mencatat nama-nama calon yang pasti mau menjadi pelanggan. Terkumpul 2000 nama dan kantor. Kebanyakan dobel, ada atas nama pribadi dan kantor. Padahal koran belum terbit
Tapi saya biarkan. Saya tetap minta koran diantar sesuai catatan setiap minggu. Semua anggota dewan berlangganan dua. Satu diantar ke kantor satu ke rumah. Lurah dan para kasie wajib beli.
Pada awal bulan kami tagih. Tak ada yang protes. Bahkan umumnya bayar lebih, Rp50 ribu per bulan, padahal kewajibannya hanya Rp4 ribu sebulan (4 kali terbit). Itu semua karena geng kami hebat, disegani banyak orang.
Dengan penghasilan itulah kami bertahan.
Saya Ditinggal Sendirian
Tapi sial, masa itu tak bertahan. Umur Suara Lampung terlalu pendek dan kami pun kembali kere.
Sejak itu, kami hanya fokus pada kegiatan Seri Pemberdayaan Masyarakat yang setiap bulan beracara di Taman Merdeka.
Seperti disampaikan tadi, geng kami hebat, geng kami disegani, oleh sebab itulah kami selalu menjadi motor acara itu.
Isu seri di Taman Merdeka kami yang tentukan. Mau nyikat siapa, hantam siapa pada malam acara jadi domain kami dan diputuskan di bawah pohon rindang di kosan Jun itu.
Tapi kami tetap saja sering kelaparan. Anggaran proyek seri perberdayaan itu kecil sekali. Agar bisa menjadi besar, geng kami buat proposal, minta bantuan ke mana-mana.
Banyak yang ngasih, sebagian kami pakai buat ‘ngangpu’ di bawah pohon rindang itu. Kadang ada juga anggota dewan dan aktifis yang ikut menikmati pesta geng kami.
Singkat cerita, Jun hijrah ke Lampung Post. Seorang teman, Yuk Hesma wartawan Lampung Post menyarankan dia bergabung ke sana. Dia dan Mustaan akhirnya ikut tes ke Bandarlampung dengan doa saya.
Saya berdoa untuk keduanya, semoga tak lulus dan kembali bersama saya, kembali kepada geng yang membesarkan keduanya.
Tapi doa jahat saya tidak dikabulkan Tuhan. Keduanya diterima menjadi reporter Lampung Post. Saya kecewa. Saya sedih dan sangat kehilangan. Saya tidur di kamar kos yang busuk sendirian.
Saking kesalnya, ikan lele yang dipelihara Jun di kosannya, saya panen semua, saya goreng saya bakar dan makan bersama teman geng yang tersisa.
Aktif Bersuara Membela Wartawan
Setelah itu, saya menangisinya lalu saya putuskan melupakan semua kenangan dan kembali pulang ke Bandarlampung mengurus bisnis saya sendiri.
Ketika Juniardi jadi Ketua KI dan berhenti dari Lampung Post, saya sering main ke kantornya. Gayanya masih seperti dulu, meski tak punk lagi.
Semasa jadi ketua KI, saya melihat dia sering memaksa diri menyiapkan paket lebaran untuk para wartawan. Padahal saya tahu belum terlalu kaya untuk berbuat seperti itu. Dan saya tahu bahwa tak ada anggaran dari KI untuk berbagi seperti itu.
Lalu, ketika Jun aktif di PWI, saya sering membaca berita terkait pernyataanya. Rasa-rasanya, cuma dia yang selalu tampil bila ada wartawan yang menjadi korban intimidasi, atau kekerasan dari pihak eksternal.
Cuma dia, yang lain ke mana.
Semalaman saya brosing di google untuk membuktikan hipotesa saya itu. Hasilnya ya cuma dia. Rupanya. Google membenarkan hipotesa saya.
Itulah sebabnya saya buat tulisan ini hanya untuk sekedar melampiaskan rasa bangga saya kepada anak Kebon Cengkeh Kota Metro itu.
Saya bangga kepadanya.
Dan andai saya bisa memilih, saya pasti akan memilih dia.
@iwaperkasa
Follow me in social media: