Singkong Di Lampung; Antara Jati Diri dan Gimik Politik

waktu baca 3 menit
I Made Suarjaya (anggota DPRD Provinsi Lampung)

Oleh:
Cah Angon (I Made Suarjaya)
Penulis adalah petani yang kini menjadi anggota DPRD Provinsi Lampung

Cerita tentang petani singkong di Lampung nampaknya tidak pernah usai. Setelah terjadi beberapa kali demonstrasi oleh para petani singkong di Lampung Timur, kini DPRD Provinsi Lampung mulai serius mencari dan menelusuri akar permasalahannya.

Sontak muncul istilah-istilah yang seolah menyenangkan hati para petani, seperti oligopoli hingga oligopsoni. Namun nyatanya istilah tinggal permainan kata, harga singkong tidak juga mencapai Rp. 1.000,- per kg nya.

Muncul beberapa kelompok tani yang memberikan ide, agar petani singkong tidak menanami semua lahannya dengan singkong, tapi juga dengan tanaman lain. Agar jika harga singkong jatuh, maka dapat diantisipasi oleh harga komoditas lain.

Hal ini mengingatkan saya, ketika Presiden SBY menghimbau masyarakat menanam cabe dirumahnya, karena harga cabe mahal. Saya anggap itu adalah candaan seorang presiden, sama seperti petani diatas yang juga sedang bercanda.

Disisi lain, program nasional food estate yang di kemukakan sebagai cadangan strategis pangan nasional justru melihat singkong sebagai potensi besar untuk dikembangkan. Dengan kondisi yang bersamaan, para petani singkong di Lampung justru terancam kelanjutan hidupnya karena menanam singkong yang harganya terus dipermainkan. Lalu dimana tugas negara sebagai pemangku regulasi???

Lampung sebagai daerah penghasil singkong terbesar di Indonesia, seyogyanya menjadi barometer pembuat kebijakan terkait komoditas singkong yang berpihak kepada petani namun tentu tidak merugikan dunia usaha, sehingga hal ini dapat diikuti oleh wilayah lainnya. Namun apalah daya, wilayah yang diharapkan para petaninya mampu menjadi “trendsetter” justru memilih menunggu dan menjadi “follower”.

Kita tidak bisa menyalahkan korporasi, karena memang posisi mereka sebagai pemain kapital dituntut mencari untung sebesar-besarnya. Namun berbeda halnya dengan eksekutif, dalam hal ini pemerintah daerah (pemda). Pemda dituntut menjadi perwakilan negara untuk memberi perlindungan kepada segenap bangsa. Lalu apa posisi legislatif?

Kita lihat banyak para petarung di DPRD Provinsi, yang berasal dari lintas partai, telah berjuang membela nasib petani singkong dengan pengusulan pembentukan panitia khusus (pansus). Semoga ikhtiar ini berjalan dan berguna bagi para petani.

Lalu apa solusinya?

Jika saya boleh berandai, bahwa Pemerintah Provinsi Lampung membentuk sebuah ‘Koperasi Tani’, dimana seluruh hasil panen para petani dibeli dengan harga wajar, lalu disalurkan oleh pemerintah provinsi kepada seluruh korporasi pengolahan singkong, demikian pula dengan komoditas lainnya, maka ini akan menjadi harapan baru bagi para petani. Sehingga akan mampu menghadirkan semangat bagi tumbuhnya petani-petani muda.

Mungkin saja, ini adalah cikal-bakal Pemerintah Provinsi Lampung bisa membentuk Korporasi (BUMD) dengan bidang pengolahan singkong.

Sebab regulasi tanpa implementasi, sama hambarnya seperti sayur basi.

Semoga pengandaian ini mampu mengetuk hati para pemangku regulasi, sehingga para petani singkong bisa keluar dari rasa resah diri.

Follow me in social media: