Tinjauan Terhadap Putusan Praperadilan Tentang Sah Tidaknya Penangkapan, Penahanan hingga Penghentian Penuntutan

waktu baca 9 menit

Oleh: Shopi Yunandar, M Juang Saputra, Pura Wijaya, Deta Merly Oktavianti, Rendi Yusuf *)

INDONESIA sebagai negara hukum dimasukkan dalam batang tubuh, tepatnya pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Tetapi tidak ada kata rechstaat lagi di sana, lalu bentuk negara hukum yang bagaimanakah yang dikehendaki konstitusi sekarang

Apakah rule of law yang mengedepankan keadilan hukum? Tidak ada pula penegasan tentang itu dalam konstitusi. Hal itu tentu bisa membawa konsekuensi terhadap mazhab hukum yang dianut Indonesia. Penghilangan kata rechtstaat bisa dimaknai bahwa negara hukum Indonesia pasca amandemen UUD 1945 terbuka untuk semua mazhab filsafat hukum, termasuk mazhab realisme hukum, juga aliran hukum progresif (realisme hukum ala Indonesia) yang dicetuskan dan dikembangkan oleh salah seorang begawan hukum Indonesia almarhum Satjipto Rahardjo.

Hal itulah yang mungkin masih kurang disadari dengan baik oleh sebagian besar insan-insan hukum di Indonesia, sehingga sebagian besar masih terpaku pada positivisme hukum. Di tataran praktis hampir-hampir tak ada yang mau dan berani keluar dari pakem positivisme hukum, meskipun konstitusi telah membuka pintu yang lebar untuk itu.

Menurut pasal 1 angka 10 KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana), praperadilan adalah wewenang hakim untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang:

Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan, permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Pihak-pihak yang dapat mengajukan praperadilan adalah sebagai berikut:

Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (pasal 79 KUHAP).

Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (PASAL 80 KUHAP).

Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya (pasal 81 KUHAP).

Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera (pasal 78 ayat [2] KUHAP).

Acara pemeriksaan praperadilan dijelaskan dalam pasal 82 ayat (1) KUHAP yaitu sebagai berikut:

Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari siding, dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan; permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dan tersangka atau pemohon maupun dan pejabat yang berwenang;

Pemeriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.

Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.

Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.

Pemeriksaan sah atau tidaknya Surat Penghentian Penyidikan Perkara atau SP3 merupakan salah satu lingkup wewenang praperadilan. Pihak penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan permintaan pemeriksaan (praperadilan) tentang sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan. Permintaan tersebut diajukan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (pasal 1 angka 10 huruf b jo. pasal 78 KUHAP)

Yang menjadi obyek praperadilan adalah sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dan ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Lalu benarkah secara hukum tidak ada ruang atau tidak dibolehkan hakim mengabulkan permohonan di luar ketentuan Pasal 1 angka 10 jo Pasal 77 KUHAP  itu.

Seperti sah atau tidaknya penetapan tersangka, sebagaimana dalam Putusan No.:1/Pid.Pra/2019/PN Bbu) Putusan ini mencoba menjawab pertanyaan itu. Untuk menjawab pertanyaan itu Penulis  ingin lebih menitik beratkan pada perspektif filsafat hukum daripada soal legalitas yang ramai diperbincangkan pascaputusan praperadilan itu. Sebagaimana diketahui, ada dua mazhab atau aliran besar filsafat hukum di dunia, yaitu aliran positivisme hukum (rechtpositivisme) dan aliran realisme hukum (pragmatic legal realism). Positivisme hukum menitikberatkan pada kepastian hukum, oleh karenanya dalam ranah hukum pidana positivisme hukum  dikenal istilah: tidak ada pidana tanpa ada ketentuan perundang-undangan

 Sedangkan mazhab realisme hukum menekankan pada aspek keadilan hukum, dimungkinkan bagi hakim untuk membentuk hukum (law making) atau bahkan menyimpangi hukum positif (hukum yang sedang berlaku) dengan membuat hukum baru, bila hukum positif yang ada dianggap tidak memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum, begitulah salah satu slogan penganut aliran ini. Pertanyaannya kemudian, negara hukum Indonesia menganut mazhab filsafat hukum yang mana Sebelum diamandemennya Undang Undang Dasar (UUD) 1945 secara tidak langsung Indonesia menyatakan menganut positivisme hukum. Anutan terhadap positivisme hukum dapat dibaca pada penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), rechstaat adalah salah satu bentuk negara hukum yang unsur utamanya adalah kepastian hukum. Dianutnya rechstaat oleh Indonesia tidak bisa dilepaskan dari  penjajahan Belanda selama 3,5 abad di Indonesia, karena Belanda juga adalah negara hukum rechstaat dengan positivisme hukumnya yang ikut diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi (penyamaan hukum yang berlaku di negeri Belanda dengan daerah jajahannya). Selain itu para sarjana hukum perumus UUD 1945 seperti Muhammad Yamin dan Soepomo yang merupakan lulusan  Belanda juga memberikan andil besar dianutnya  rechstaat melalui konstitusi ketika itu. Lain halnya dengan negara-negara bekas jajahan Inggris, seperti: Malaysia, Singapura, Australia, dan lainnya yang tergabung dalam negara persemakmuran (commonwealth). Negara-negara itu adalah negara hukum yang  tergolong pada rule of law yang mengedepankan keadilan hukum daripada kepastian hukum, sebab negara Inggris sendiri adalah negara hukum yang  tergolong pada rule of law. Pascaamandemen UUD 1945, penjelasan UUD 1945 dihapuskan.

Namun setelah kemudian reformasi bergulir, konstitusi telah diamandemen dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman relatif mudah ditegakkan, justru hampir tidak kita dengar lagi munculnya hakim-hakim yang progresif dan inovatif dengan pemikiran briliannya demi mewujudkan keadilan. Satu-satunya hakim yang berkiprah sekarang yang benar-benar telah teruji keprogresifannya menurut saya hanyalah hakim agung Artidjo Alkostar. Kembali kepada persoalan praperadilan, dapat disimpulkan bahwa pendapat yang mengatakankan tidak dibolehkan bagi hakim praperadilan untuk mengabulkan permohonan di luar obyek praperadilan yang disebut dalam Pasal 1 angka 10 jo UU No.8/1981 menurut saya tidaklah tepat, terlepas dari integritas hakim Sarpin Rizaldi yang juga ramai dipersoalkan dan independen atau tidaknya dia dalam memutus permohonan praperadilan

Hakim sebagai aktor penegak hukum dan keadilan harus mampu mengikuti perkembangan hukum yang berkembang di dalam masyarakat. Dengan kewenangannya seorang Hakim harus mampu menetapkan hukum yang semula hukumnya tidak ada menjadi ada, hal itu dilakukan dengan menggunakan metode penemuan hukum (recht finding) yang secara yuridis harus dapat dipertanggungjawabkan.

Penemuan hukum oleh Hakim dalam kaitan dengan perluasan objek serta ruang lingkup Praperadilan semakin hari semakin luas dan bertambah. Pada awalnya muncul dari penemuan hukum oleh Hakim Praperadilan melalui pertimbangan hukum dalam putusannya, dan bahkan hingga saat ini telah ada 4 (empat) putusan yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi yang memperluas ruang lingkup dan objek praperadilan.

Hal tersebut tentu menimbulkan implikasi dan permasalahan, apakah sebenarnya penemuan hukum tersebut benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan perkembangan hukum dimasyarakat.

Hakim sebagai aktor penegak hukum dan keadilan harus mampu mengikuti perkembangan hukum yang berkembang di dalam masyarakat, sebab seringkali dinamika yang muncul di masyarakat jauh lebih cepat berkembang dari tatanan hukumnya sendiri.

Beberapa perkara yang diajukan ke Pengadilan di antaranya terdapat perkara yang aturan hukumnya sendiri tidak ada atau belum dibuat, dan oleh karena Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada dasar hukumnya, dengan demikian seorang Hakim dengan kewenangannya harus mampu menetapkan hukum yang semula hukumnya tidak ada menjadi ada, hal itu dilakukan dengan menggunakan metode penemuan hukum (recht finding) yang jika dikaji secara ilmiah (keilmuan) dan secara yuridis harus dapat dipertanggungjawabkan.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Soejono Koesoemo Sisworo: “Bahwa hakikat penemuan hukum, yaitu selalu berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat dan tetap dalam lingkungan sistem hukumnya.”

Penemuan hukum oleh Hakim dalam kaitan dengan perluasan objek serta ruang lingkup Praperadilan semakin hari semakin luas dan bertambah, hal tersebut pada awalnya muncul dari penemuan hukum oleh Hakim Praperadilan melalui pertimbangan hukum dalam putusan-putusannya, dan bahkan hingga saat ini telah ada 4 (empat) putusan yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Praperadilan sebagai objek judicial review nya dan amar putusannya pun memperluas ruang lingkup dan objek praperadilan itu sendiri.

Dari penemuan hukum tersebut tentu menimbulkan dampak dan pengaruh terhadap tatanan hukum yang telah ada, terlebih lagi apabila dari penemuan hukum tersebut kemudian ada yang mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi dan dikabulkan, tentu akan muncul norma hukum baru di luar ketentuan yang sudah ada pada undang-undang terkait, dalam hal ini praperadilan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Lembaga praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber dari Habeas Corpus dalam peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia terhadap hak kemerdekaan2 sehingga pada akhirnya praperadilan pun digaungkan sebagai wajah pembaharuan penegakan hukum dan keadilan dengan diaturnya kedalam KUHAP Bab X Bagian Kesatu, sebagai salah satu ruang lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan Negeri.

Lebih lanjut, praperadilan menurut Pasal 1 butir 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Dewasa ini, objek praperadilan telah mengalami perluasan dari yang telah diatur dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP, perluasan tersebut di antaranya dikarenakan oleh beberapa Putusan MK sebagai berikut:

 Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 (Penetapan Tersangka sebagai obyek Praperadilan)

Putusan MK Nomor 102/PUU-XIII/2015  (Ketentuan Gugurnya Permohonan Praperadilan)

 Putusan MK Nomor 109/PUU-XIII/2015 (Pembatasan Ruang Lingkup Hukum Materil Praperadilan)

 Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 (Ketentuan Penyerahan SPDP) dan juga penemuan hukum oleh hakim praperadilan.

*) Penulis adalah Mahasiswa UBL Bandar Lampung

Follow me in social media: