Tetap Perhatikan Kelestarian, Perhutanan Sosial Bisa Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat

waktu baca 3 menit

GANTANEWS.CO, Bandar Lampung – Perhutanan sosial sebagai sistem pengelolaan hutan lestari dalam kawasan hutan negara atau hutan adat berhubungan dengan keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya. Skema ini dapat menjadi alternatif dalam meningkatkan kesejahteraan sosial dengan tetap memerhatikan kelestarian hutan.

Hal itu terungkap dalam Webinar bertajuk “Kebijakan Pengelolaan Hutan untuk Kesejahteraan” yang digelar Rumah Kolaborasi (RuKo) bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandar Lampung, Sabtu (25/7/2020).

Webinar yang dipandu Direktur Walhi Lampung Irfan Tri Musri itu menghadirkan dua narasumber, yaitu Ketua Komisi II DPRD Provinsi Lampung Wahrul Fauzi Silalahi dan Ahmad Erfan, petani di perhutanan sosial.

“Pentingnya dalam skema ini, kami mendorong pelestarian hutan dan juga meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Jadi, ada keseimbangan antara keduanya,” kata Wahrul.

Mantan Direktur LBH Bandar Lampung itu mengatakan, pemerintah melalui skema perhutanan sosial membuka akses kepada masyarakat agar memanfaatkan hutan untuk meningkatkan kesejahteraan. Jika dahulu masyarakat dan aparat kucing-kucingan ihwal pemanfaatan lahan hutan, melalui skema ini terbuka akses kepada masyarakat untuk mengelolanya.

Terdapat lima skema dalam penerapan perhutanan sosial. Kelimanya, hutan tanaman rakyat (HTR), hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKM), hutan adat (HA), dan kemitraan kehutanan (KK). Legislatif telah menganggarkan pengelolaan perhutanan sosial sekitar Rp13,7 miliar.

“Kami sudah menganggarkan Rp13,7 miliar untuk pengelolaan perhutanan sosial. Jadi, tak ada alasan lagi bagi pihak terkait untuk tidak menerapkan kebijakan tersebut,” ujar Wahrul.

Menurut Erfan, selama ini pelaksanaan perhutanan sosial cukup baik. Petani lokal sudah menerapkan teknik agroforestry dalam pengelolaan perhutanan sosial.

“Karena di daerah ini (Lampung Barat) basisnya kopi, jadi sebuah keberuntungan. Sebab, kopi dapat tetap tumbuh dengan baik di dalam naungan (agroforestry), asalkan pengelolaannya dilaksanakan dengan baik,” kata Erfan yang bertani kopi di perhutanan sosial di Kabupaten Lampung Barat.

Pengelolaan dimaksud Erfan, yaitu melalui pemilihan kombinasi tanaman yang dicampur. Tidak boleh saling merugikan sehingga dapat tumbuh berdampingan. Selain itu, pemberlakuan strata (tingkatan) pada penanaman sangat berpengaruh dalam perkembangan tanaman tersebut.

“Susunan tanaman dilakukan dengan strata tertinggi ke strata rendah. Jadi, dapat menghambat air hujan untuk langsung jatuh ke tanah dan juga lebih mengoptimalkan penyerapan cahaya matahari,” ujarnya. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan penerapan perhutanan sosial sebesar 12,7 hektare pada 2015-2019. Namun, sampai saat ini penerapannya hanya mencapai 30%.

Menurut Erfan, lambatnya penerapan perhutanan sosial karena realisasi anggaran yang masih minim. Sehingga, penerapannya menjadi lambat. Dia menilai, anggaran Rp13,7 miliar yang disampaikan Wahrul masih terlalu kecil untuk menjalankan perhutanan sosial.

“Mestinya jika ada petani sebanyak 30% di perhutanan sosial, maka anggarannya harus mengikuti itu. Sehingga, pelaksanaannya dapat maksimal,” kata dia.

RuKo-AJI mengadakan empat webinar selama Juli hingga Agustus mendatang. Webinar ini adalah yang kedua. Sedangkan yang pertama telah berlangsung pada Sabtu lalu, 11 Juli 2020.

Webinar ini juga mendapat dukungan dari Rainforest Alliance dan Kedutaan Belanda terkait program Sustainable Coffee Action in The Landscape of Bukit Barisan Selatan (SCALA-BBS). Dalam pelaksanaan webinar tersebut, RuKo-AJI menggandeng Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra Universitas Lampung (Unila) dan Suara Kreativitas Mahasiswa (Sukma) Politeknik Negeri Lampung (Polinela).(*)

Follow me in social media: