Mukhlisin & Sejarah Perkampungan Mahasiswa yang Melegenda

waktu baca 4 menit
Foto: Mukhlisin saat ditemui dikediamannya. (Andry)

Bandar Lampung – Suatu hari di tahun 1956. Mukhlisin muda merasa gusar. Usianya sudah kepala tiga kala itu. Saat ia didaulat menjadi Lurah Kampung Baru Sinar Banten. Ia tahu, akan banyak aral di depan sana.

Kampung Baru Sinar Banten (merupakan pecahan dari Kelurahan Gedong Meneng) pertama kali disahkan tahun 1945. Kampung itu merupakan lahan luas yang hampir semua pembukanya adalah warga pendatang dari Banten.

Awalnya banyak penduduk pribumi tidak sepakat. Karena Kampung Baru Sinar Banten dianggap hanya akan membuat pendatang dari luar Lampung besar kepala. Padahal, menurut pribumi kala itu, warga pendatang harusnya hanya jadi pesuruh. Namun berkat upaya kerja keras pendekatan ayah Muhklisin, pribumi bisa menerima.

Ayah Mukhlisin, M. Said -adalah lurah pertama Kampung Baru Sinar Banten- telah berpulang pada 1950. Dalam rentang enam tahun sejak itu, sudah tujuh kali Kampung Baru Sinar Banten berganti lurah. Pada 1956 itu, Mukhlisin muda baru pulang mondok dari sebuah pesantren di Serang.

Mukhlisin kemudian menyanggupi amanah lurah itu. “Meski seperti yang sudah saya pikirkan sebelumnya, merubah stigma Kampung Baru Sinar Banten tidaklah mudah,” tutur Mukhlisin.

Tidak mudah? Ternyata, selain memang sebagian besar warganya adalah pendatang dari Banten, kampung itu juga dikenal sebagai sarang bramacorah. “Hampir di setiap rumah, warga memiliki senjata api yang digunakan untuk merampok kampung lain,” kisah Mukhlisin mengenang.

Berbekal keyakinan, mental, dan pengalamannya selama mondok di Banten (dulu ia juga banyak bergaul dengan para begundal disana, meski ia tidak ikut-ikutan merampok), ia berhasil meyakinkan warganya untuk tak lagi berbuat kejahatan. Nama besar ayahnya dan pendidikan Mukhlisin ternyata cukup disegani.

Ia memberitahu saya ‘jurus ajaibnya’. Tak perlu pakai otot ternyata. “Saya cuma bilang sama warga begini, sebelum kalian kembali pada Yang Maha Lurus, kapan kiranya disini ada ancaman dari masyarakat, polisi, dan tentu saja malaikat maut!” Kata Mukhlisin yang merasa masygul ketika mengingat hal itu.

Berkat pendekatan yang terus menerus, banyak warganya yang ‘berprofesi’ sebagai maling atawa garong atawa perampok itu mulai sadar. Bahkan, Kampung Baru Sinar Banten berangsur menjadi kampung yang religius. Hal itu tentu saja lantaran latar belakang Mukhlisin sebagai anak pesantren.

Menjadi Perkampungan Mahasiswa

Syahdan, Mukhlisin terus menjabat lurah sejak saat itu. Namun, ada satu keinginan besar Mukhlisin yang belum terwujud. Yakni menjadikan Kampung Baru Sinar Banten menjadi kampung yang terangkat martabatnya serta bisa bermanfaat untuk sekitar.

Doanya kemudian seakan ‘didengar’. Tahun 1974, Sitanala Arsyad, Rektor Universitas Lampung (Unila) kala itu, bersama seorang dosen, Lurah Gedong Meneng, dan Lurah Rajabasa menyambangi rumahnya.

Unila berencana membangun kampus di tengah-tengah tiga kelurahan tersebut. Tak lama proses negosiasi itu. Ketiga lurah segera bersepakat.

Sebagai bagian persetujuannya, ketiga kelurahan masing-masing memberikan lima puluh hektar lahannya kepada Unila, dengan kompensasi penggantian lahan yang sudah disepakati.

Selesai? Belum. Mukhlisin harus kembali berjuang membujuk warganya. Ia lakukan hanya dengan satu niat, dengan adanya pembangunan kampus itu, kehidupan dan perekonomian warganya terangkat. Ia tak mau warganya hanya menjadi petani kelapa atau pembuat gula aren.

Sebelumnya, Mukhlisin sudah membuat perubahan mendasar yang sangat berarti. Ia, yang kelak menjabat lurah selama 33 tahun itu, menghapus nama Sinar Banten. “Saya tidak mau kampung ini dicap hanya milik orang Banten saja,” ungkapnya. Jadilah sekarang kampung itu, Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Labuhan Ratu, Kota Bandar Lampung.

Kerja kerasnya kini terbayar lunas. Mukhlisin, diusianya yang hampir satu abad, menjadi saksi saat Kampung Baru mengalami masa pencerahan. Menjadi saksi masyarakat Kampung Baru yang kini berpikiran terbuka. Mukhlisin, yang masih bisa mengingat dengan detail setiap waktu dan peristiwa itu, sekaligus menjadi saksi sebuah akulturasi budaya yang menakjubkan.

Kampung Baru kini dikenal sebagai perkampungan mahasiswa. Tempat berkumpulnya para intelektual muda dari seluruh penjuru nusantara bahkan luar negeri. Salah satu mimpinya juga terwujud. Yakni memugar Masjid Ar Raudoh, masjid kebanggaan warga Kampung Baru. “Masyarakat dan mahasiswa jadi bisa beribadah dengan layak dan nyaman,” tutupnya sambil sesekali terbatuk. [Andry]

Follow me in social media:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *