Mahasiswa Justitia Omnibus dan Sejumlah Sarjana Hukum Gugat Kewenangan Dewas ke MK

waktu baca 3 menit
Foto: (Ist)

Lampung Tengah – Sejumlah mahasiswa dari Tim Justitia Omnibus dan beberapa sarjana hukum menggugat sejumlah pasal terkait Dewan Pengawas (Dewas) di dalam Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta.

Mereka meminta agar ditinjau ulang konstitusionalitas aturan terkait lembaga pengawas internal di dalam lembaga anti rasuah tersebut.

Hal itu menyusul pasca dikeluarkanya UU KPK baru, yaitu Undang-Undang 19 Tahun 2019 tentang Perubahan kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi muncul pro kontra di masyarakat khususnya terkait keberadaan Dewan Pengawas.

Mereka beberapa sarjana hukum dan mahasiswa dari tim Justitia Omnibus, adalah Jovi Andrea Bachtiar, Richardo Purba, Leonarso Satrio, Jultri Fernando Lumbantobing,  Alfian Huzhaya, Galang Brillian Putra, Faiz Abdullah Wafi, Titanio Hasangapan Giovani Sibarani, Thomas Perdana Sitindaon, Febry Indra Gunawan Sitorus, Vincentcius Micoland, Manullang, Muhammad Ardi Langga, Rizky Ervianto, dan Fahrel Yusuf Rahmat.

Menurut Koordinator Tim, Jovi Andrea Bachtiar, menyatakan bahwa keberadaan pengaturan terkait kedudukan dan mekanisme  pengisian jabatan dewan pengawas berpotensi melanggar prinsip-prinsip negara hukum (Rechtstaats) dan prinsip independensi pada proses peradilan (Independent Judiciary).

“Kami meminta MK lebih jeli lagi menelaah di dalam Pasal 69 ayat 1 dan Pasal 69 ayat 4 UU KPK. Itu bertentangan dengan UUD 1945, yang menyatakan bahwa frasa ijin tertulis dan/atau ijin tertulis dari Dewan Pengawas tidak diartikan persetujuan tertulis dari Pengadilan Negeri (PN) setempat atau Mahkamah Agung (MA), ujar Jovi, sapaan akrabnya.

Sementara itu, Muhammad Ardi Langga, praktisi hukum yang merupakan alumni Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, menyatakan bahwa permohonan ini sebagai tindak lanjut dari Jihad konstitusional untuk mengawal pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Terlebih menurutnya kedudukan Dewan Pengawas dalam konstruksi normatif pada undang-undang sangat bermasalah.

Selain itu, para pemohon bersamaan dengan permohonan uji materiil terhadap UU KPK juga mengajukan permohonan uji materiil UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Sementara, Akademisi Hukum Tata Negara Kabupaten Lampung Tengah (Lamteng), Rizky Ervianto, menambahkan bahwa permohonan tersebut ditujukan agar MK kedepannya mendapatkan legitimasi formil untuk mengeluarkan putusan bersyarat.

Selain itu, Rizky yang juga pernah menduduki Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan paguyuban Garis Alam Yogyakarta (Keluarga Mahasiswa dan Pelajar Bandar Lampung) mengatakan, keberadaan pengaturan terkait kedudukan dan mekanisme pengisian jabatan dewan pengawas, berpotensi melanggar prinsip-prinsip negara hukum (Rechtstaats) dan prinsip independensi pada proses peradilan (Independent Judiciary).

Selain itu, para pemohon bersamaan dengan permohonan uji materiil terhadap UU KPK juga mengajukan permohonan uji materiil UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.

“Pasalnya, MK sejak didirikan 2003 silam hingga akhir 2018 lalu telah mengeluarkan 153 putusan bersyarat, dengan rincian 136 putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) dan 17 putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional),” kata Rizky Ervianto, Sabtu 1, Februari 2020.

Putra sulung Wakil Ketua I DPRD Lampung Tengah Yulius Heri itu menjelaskan, di Pasal Pasal 51A ayat (5) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diperbaharui dengan UU No. 8 Tahun 2011 menyatakan, hanya ada tiga jenis putusan.

Pertama, mengabulkan permohonan pemohon. Kedua, menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ketiga,menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal 57 ayat (3) UU a quo hanya memberikan kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk mendaftarkan ke dalam Berita Negara Republik Indonesia terhadap putusan yang amarnya menyatakan mengabulkan permohonan.

“Sehingga selama ini kami selaku pemohon memandang terdapat kekosongan hukum atau bahkan ambiguitas (contradictio in terminis) terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengeluarkan putusan bersyarat,” tukasnya. (Deny)

Follow me in social media:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *